Dilansir dari berbagai sumber perihal awal mula pembentukan Cirebon sungguh menarik untuk dipelajari dan dikaji. Tokoh pegiat budaya yang juga pendiri komunitas Pusaka Cirebon Kendi Pertula, Drs. R. Chaidir Susilaningrat, memberikan berbagai referensi dari sumber kompeten yang bisa dijadikan rujukan terkait Hari Jadi Kabupaten Cirebon. Sumbernya antara lain dari Naskah Purwaka Carita Caruban Nagari, beberapa kajian sejarah, Risalah Hari Jadi Kabupaten Cirebon, Buku Ulang Tahun Emas Kota Pradja Tjirebon 1 April 1956, Gedengboek der Gemeente Cheribon, 1931, dan lainnya.
Pria yang akrab disapa Mama Chaidir pun menceritakan, perjalanan panjang sejarah Cirebon dimulai pada enam abad lalu. Sedikitnya, ada lima titik yang menjadi momentum penting perubahan besar pada tatanan daerah dan masyarakat Cirebon.
Pertama, pada Babad Alas Pesisir atau Babak Kiyasa Pembentukan Pedukuhan Caruban. Tanggal 1 Muharram 849 H atau 18 April 1445 M, Pangeran Walangsungsang yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Cakrabuwana putera Prabu Siliwangi, diperintah oleh gurunya, yaitu Syeh Nurjati (atau Syeh Idhofi Mahdi, dikenal pula dengan nama Syeh Datuk Kahfi) membuka pedukuhan di Kebon Pesisir yang lokasinya saat ini sekitar kawasan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
“Pedukuhan tersebut kemudian menjadi ramai, dihuni oleh berbagai etnis yang datang dan bermukim di sana. Sehingga kemudian dinamakan Pedukuhan Caruban (dalam bahasa Jawa kuno berarti campuran). Pedukuhan kecil itu terus berkembang menjadi kawasan pemukiman yang terus meluas hingga selanjutnya disebut Caruban Nagari yang menjadi bagian cukup penting dari wilayah Kerajaan Pajajaran. Kemudian, tanggal 1 Muharram atau 1 Sura menjadi momentum sejarah asal mula daerah Cirebon yang saat ini diperingati sebagai Hari Jadi Kota Cirebon,” kata Mama Chaidir.
Kedua, lanjut Chaidir, Caruban Nagari lepas dari pengaruh kekuasaan Pajajaran dan kemudian berdiri sebagai Kesultanan. Perkembangan dan kemajuan Caruban Nagari semakin terlihat setelah kepemimpinan Pangeran Cakrabuwana yang bergelar Tumenggung Sri Mangana dan dilanjutkan oleh keponakannya, yaitu Syeh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dimana, selain menakhodai pemerintahan, Sunan Gunung Jati juga memimpin syiar Islam bersama-sama dengan majelis Wali Sanga yang mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa dan Nusantara.
“Kemudian, tepat pada Tanggal 12 Shafar 887 H atau 2 April 1482 M, Kanjeng Sunan Gunungjati mengeluarkan maklumat bahwa Caruban Nagari melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Disinilah, sehingga Caruban Nagari berdiri dan berdaulat sebagai Kerajaan/Kesultanan yang berdasarkan syariat Islam. Makanya, momentum bersejarah tanggal 2 April kini diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Cirebon,” jelas Chaidir.
Ketiga, sambung Chaidir, Pembentukan Prefectuur (Karesidenan) Cheribon. Diawali dengan Kolonialisme yang datang sejak awal abad ke 17 secara bertahap mengendalikan dan akhirnya menguasai pemerintahan di wilayah Caruban Nagari yang di masa ini dituliskan sebagai CHERIBON. Dengan dibentuknya Prefectuur (Karesidenan) Cheribon pada tahun 1819, yang menggantikan kekuasaan para Sultan Cirebon.
“Pada masa itu kolonialisme Belanda berada di bawah kendali Napoleon Bonaparte. Karena Kerajaan Belanda saat itu tengah dijajah oleh Perancis. Willem Herrman Daendels perwira tinggi Belanda yang pro penjajah Perancis diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan misi penataan administrasi pemerintahan kolonial,” paparnya.
Terbentuknya Karesidenan sebagai alat pemerintah kolonial tersebut, menandai dimulainya sistem pemerintahan modern ala Eropa yang menghadirkan banyak perubahan baik secara fisik dalam penataan infrastruktur wilayah maupun administrasi.
Keempat, sambung Chaidir, perihal pembentukan Kabupaten Cirebon (yang bersifat administratif, tidak otonom) sebagai pusat Karesidenan Cirebon. Regenschaap Cheribon (Kabupaten Cirebon) dibentuk berdasarkan Besluit van Kommisarijs Generaal van Nederlands Indie no. 23, tanggal 5 Januari 1819. Diundangkan dalam Staatblads No. 9 Th. 1819 Tentang Penetapan batas-batas Regenschaap di Karesidenan Cirebon.
“Ada lima tatanan wilayah, yaitu pertama Cheribon, kedua Bengawan Wetan (wilayah Indramayu), ketiga Madja (wilayah Majalengka), keempat Koeningan dan kelima Galoeh (wilayah Ciamis/Tasik). Lebih dari seabad kemudian Kabupaten Cirebon mulai menjadi daerah otonom dengan dibentuknya Regenschaap Raad (Dewan Kabupaten) pada tahun 1925,” terang Chaidir.
Kelima, imbuh Chaidir, yakni Pembentukan Kota Cirebon (yang bersifat administratif, tidak otonom) sebagai pusat koloni Belanda. Disini, Gemeente Cheribon (Kotapraja Cirebon) dibentuk berdasarkan Staatblads No. 122 Tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Pembentukan Gemeente Cheribon, sebagai pusat koloni Belanda yang dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana serta fasilitas yang memadai untuk melayani warganya, terutama yang berkebangsaan Belanda, Eropa dan Timur Asing.
“Kota Cirebon mulai menjadi daerah otonom dengan dibentuknya Gemeente Raad (Dewan Kota) pada tahun 1925. Sejak awal pembentukannya, tanggal 1 April selalu dirayakan sebagai Hari Ulang Tahun Gemeente Cheribon yang ditandai dengan berbagai pesta dan hiburan, sebagaimana tradisi Eropa. Beberapa arsip menunjukkan peringatan ulang tahun tersebut termasuk diantaranya buku-buku memoar ulang tahun Pèrak di tahun 1931 dan Ulang Tahun Emas, 50 tahun Kotapradja Tjirebon yang diterbitkan pada tanggal 1 April 1956, oleh Walikota saat itu, Mustofa Soerjadi,” ungkapnya.
Kemudian, mulai tahun 1980-an Pemerintah Kota Cirebon mengganti tanggal hari jadinya dengan titi mangsa Babad Alas Pesisir atau Babak Kiyasa Pedukuhan Caruban. Yaitu pada setiap tanggal 1 Muharram yang kemudian ditetapkan dalam Perda Kota Cirebon Nomor 24 Tahun 1996. (Islah)