SUARA CIREBON – Maskanda dan Cartini, warga RT. 023 Dusun 02, Desa Pabedilan Kidul, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, ini hanya bisa pasrah, saat harus melakukan pemeriksaan Electro Encephalo Graphy (EEG) dan pembelian sepatu afo (Ankle Foot Orthosis) bagi buah hati mereka, Faizar Albahdi Maulana (4), yang menderita Celebral Palsy (CP), karena ketiadaan biaya.
Pasalnya, pembelian sepatu afo harus dilakukan mandiri karena tidak terkover BPJS.
Padahal, sesuai saran dokter, Faizar sangat membutuhkan sepatu afo sebagai alat bantu yang digunakan untuk mengoreksi daerah pergelangan kaki dan kaki.
Hal itu karena, penyakit Celebral Palsy atau lumpuh otak yang diderita Faizar menyebabkan sang balita kerap mengalami kejang.
Ibunda Faizar, Cartini, menjelaskan, buah hatinya mengalami gejala Celebral Palsy sejak lahir. Namun, saat usia Faizar satu tahun, kondisinya sangat parah.
“Fizar kerap mengalami kejang, hingga akhirnya muncul juga penyakit epilepsi,” ujar Cartini kepada Suara Cirebon, Selasa (1/11/2022).
Sebagai seorang ibu, dirinya berupaya sedangan segala cara agar Faizar bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Awalnya, Faizar berobat menggunakan pelayanan umum, sampai akhirnya diketahui Pemdes setempat dan dibuatkan kartu BPJS.
“Suami kesehariannya hanya pekerja serabutan, sudah berusaha habis-habisan. Meski dulu rumah ngontrak, tapi demi kesembuhan anak kami sampai habis-habisan. Alhamdulillah akhirnya dibantu Pemdes dibuatkan BPJS,” ujar Cartini.
BACA JUGA: Geger Penemuan Mayat Bayi di Tong Sampah Toilet Pabrik Sepatu di Majalengka
Cartini mengatakan, penyakit yang diderita anaknya mendapatkan perhatian banyak pihak, salah satunya Dinas Sosial ( Dinsos) Kabupaten Cirebon, yang memberikan bantuan kursi roda.
Selain itu, warga secara gotong royong melakukan swadaya membangunkan rumah sangat sederhana di atas tanah milik Dinas Pengairan (sekarang PUTR, red).
Saat ini anaknya sudah menjalani kontrol menggunakan BPJS, namun dari pihak medis menyarankan untuk dilakukan EEG yang tidak tercover oleh BPJS.
“Biaya diperkirakan sekitar Rp1,5 juta untuk sekali melakukan EEG. Suami saya berkali-kali mengumpulkan uang tak kunjung bisa, karena selalu ada kebutuhan lain,” kata Cartini lirih.
BACA JUGA: Virdi Prayoga, Balita 3 Tahun yang Meregang Nyawa Saat Kerusuhan Suporter Persebaya vs Arema
Ia mengaku telah berusaha sekuat tenaga, namun sebagai buruh serabutan pendapatan yang diperoleh suaminya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
“Kami menginginkan anak bisa sembuh bagaimanapun caranya, namun terbentur biaya yang tidak sanggup kami sediakan. Saya ingin bantu suami cari tambahan, tapi tidak bisa karena Faizar tidak bisa ditinggal,” tandasnya.
Dari keterangan yang dihimpun Suara Cirebon, EEG diperlukan untuk mendeteksi adanya gelombang aktivitas epilepsi yang terjadi pada anak-anak penderita CP.
Tujuannya, untuk mengetahui angka kejadian dan prevalensi epilepsi pada anak penderita CP. Penelitian ini berupa deskriptif analitik.
BACA JUGA: Camat Waled Pastikan Anak Balita telah Diimunisasi
Data diperoleh secara retrospektif terhadap penderita yang memenuhi syarat diagnosis CP dengan epilepsi.
Selain kebutuhan untuk EEG yang belum terpenuhi hingga saat ini, sepatu AFO karena kondiai anaknya yang hingga saat ini belum bisa duduk dan berjalan.
Sepatu AFO biasa digunakan oleh anak dengan Cerebral Palsy yang mengalami permasalahan pada sendi pergelangan kaki.
Anak dengan cerebral palsy mengalami kesulitan berdiri dan berjalan, dengan bantuan AFO diharapkan dapat membantu mobilitas dari anak penderita CP.
BACA JUGA: Kasus Sopir Minum Miras Tewaskan Balita Kembali Disidangkan
Sementara itu, Kuwu Desa Pabedilan Kidul, Mas’ud menjelaskan, keluarga Cartini merupakan penduduk asli desanya.
Awalnya, keluarga itu tinggal dikontrakan desa tetangga, hingga kemudian setelah diketahui kondisi anaknya yang mengalami CP, tetangga Cartini yang merasa prihatin bergotong royong secara swadaya membangunkan rumah bilik di atas tanah milik Dinas Pengairan.
“Mereka memang asli warga kami. Awalnya ngontrak, lalu oleh warga dibangunkan rumah bilik di atas tanah dinas pengairan seadanya. Yang terpenting Cartini dan keluarga bisa tidur tidak kehujanan,” kata Mas’ud.
Menurut Mas’ud, pihaknya ingin membantu agar keluarga Cartini bisa mendapat bantuan sebagai penerima program rutilahu (rumah tidak layak huni).
BACA JUGA: Kuwu Setu Kulon Imbau Balita Intens ke Posyandu
Namun hal itu terbentur aturan status kepemilikan tanah penerima program.
“Kami ingin mengajukan untuk masuk program rutilahu, namun belum memiliki tanah. Kami juga merasa prihatin, suaminya yang hanya buruh serabutan selalu disibukkan untuk pengobatan anaknya, sehingga belum memikirkan untuk memiliki rumah yang layak. Nanti akan coba dikomunikasikan dengan keluarganya,” pungkasnya. (Baim)