Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) pun dibuat terkejut setelah Syekh Siti Jenar diadili dan dibunuh oleh Dewan Wali, dengan munculnya wangsit (pertanda gaib) yang datangnya dari Syekh Siti Jenar.
Wangsit dari waliyullah yang mengajarkan wahdatul wujud (manunggaling kawula Gusti) atau menyatunya antara hamba dengan Tuhan itu memang berupa peringatan yang bakal membuat sengsara umat dan tata pemerintahan yang sudah berlangsung pada sekitar abad ke-15 tersebut.
BACA JUGA: Peran Sunan Gunung Jati, Putri Nio Ong Tien dan Pengaruh Cina di Cirebon, Simak Catatan Budayawan
Munculnya wangsit tersebut, memang dalam dunia nyata yang dialami masyarakat maupun Kesultanan Cirebon pada masa itu sangat tidak mengenakan.
Dikutip Suara Cirebon dari Harian Umum Pikiran Rakyat, 26 Maret 2005, dari catatan Budayawan Cirebon, TD Sujana, munculnya wangsit tersebut terjadi pada bulan Safar dan bukan hanya mengejutkan Sunan Gunung Jati, namun, juga sejumlah wali lainnya saat itu. Bahkan, di Cirebon, bulan Safar disebut sebagai bulan musibah atau bulan bala.
Di samping dihubung-hubungkan dengan mitos dimusnahkannya ajaran Syekh Siti Jenar, juga pada bulan Safar, Nabi Muhammad Saw juga mengalami sakit parah di bulan itu.
Waliyullah Syekh Siti Jenar dieksekusi pada bulan Safar, dihukum mati oleh Dewan Wali di tanah Jawa. Eksekusi dilakukan karena ajaran Syekh Siti Jenar dikhawatirkan bisa menyesatkan umat Islam pada waktu itu. Sementara, para pengikutnya dikembalikan kepada ahlussunah wal jamaah.
Setelah Syekh Siti Jenar dimusnahkan, kemudian muncullah dua buah wangsit lewat suara tanpa rupa dan diyakini itu datangnya dari waliyullah Syekh Siti Jenar.
Salah satu wangsit tersebut sebagai berikut. “Eh Sinuhun, duking anane kebo bule mata kucing, bakal umat ira karunan. Pangawasan ira kalindih, jan mapa tan duwe pangajap becik (Wahai Sinuhun – Sunan Gunung Jati, ketika engkau jumpai kerbau bule bermata kucing – penjajah Belanda akan membuat sengsara umatmu. Kekuasaan direbut, dan masyarakat amat langka yang berpikir baik).”
Dampak dari peristiwa tersebut, pengikut Sunan Gunung Jati banyak yang menyepi diri, berkhalwat, bersdzikir kepada Allah Swt, memohon keselamatan bagi umat Islam agar bisa terhindar dari wangsit tersebut.
Di tengah masyarakat pada saat itu muncul silaturahmi dengan bersedekah “kue apem” yang hingga kini menjadi tradisi pada setiap bulan Safar.
Tidak berhenti di situ, muncul pula ikhtiar-ikhtiar yang bertujuan agar terhindar dari bala atau malapetaka. Entah petaka berupa penyakit, datangnya penjajah atau musibah lainnya.
Orang-orang di Cirebon dan sekitarnya pada masa itu punya kecenderungan “matirta” (mandi suci) seperti zaman Purnawarman, hanya saja istilahnya yang berbeda, mereka menyebutnya dengan “ngirab”.
Ngirab dimaksudkan untuk membuat segala kotoran baik lahir maupun batin yang dilakukan pada Rabu terkahir bulan Safar (Rebo Wekasan).
Dengan melakukan Ngirab di Kali Suba, Kampung Dukuh Semar, dekat terminal Harjamukti Kota Cirebon orang yang bersangkutan meyakini bakal terlepas dari noda dan dosa. Bahkan, bisa dijadikan penolak bala (sial). Ada pula sebagian yang meyakini, bagi perempuan yang susah dapat jodoh bisa segera mendapatkan suami. ***