Budayawan Cirebon, Ahmad Jajuli, menyampaikan, ada wasiat yang paling dikenal masyarakat, bukan saja oleh masyarakat Pantai Utara (Pantura) Cirebon dan Banten, tapi oleh masyarakat lainnya, wasiat itu adalah “Ingsun titip tajug lan fakir miskin (saya titip musala dan fakir miskin)”.
Menurut Jajuli, tajug bisa ditafsirkan secara luas, yaitu tempat ibadah Umat Muslim, seperti musala dan masjid yang harus tetap dirawat dan tetap dijadikan tempat untuk melakukan ibadah dan syiar Islam.
BACA JUGA: Wasiat Sunan Gunung Jati, Menahan Hawa Nafsu dan Cara Manghormati Tamu
Sementara arti fakir miskin, lanjut Jajuli, bisa berupa anak yatim, yatim piatu, orang-orang tidak mampu atau kaun dzuafa yang perlu dibantu sehingga Sinuhun Sunan Gunung Jati mewasiatkannya agar untuk diperhatikan oleh umat, terutama mereka yang punya rejeki lebih atau yang mampu.
“Wasiat Sinuhun Sunan Gunung Jati yang satu ini memang luar biasa monumental. Tidak hanya dikenal oleh masyarakat Cirebon dan sekitar Pantura lainnya, namun, juga oleh orang-orang di luar daerah tersebut,” ungkap Jajuli yang juga Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Cirebon itu, Jumat, 18 November 2022.
BACA JUGA: Harga HP Realme November 2022, Mulai dari Sejutaan Aja
Diceritakan, pada zaman dahulu, ketika Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemahabang wafat, sepeninggalan salah seorang wali yang kontroversi itu pesantren dan santrinya kurang terurus.
Pada kesempatan tersebut, Syarif Hidayatullah wanti-wanti agar pesantren, termasuk masjid/musala dan santrinya harus benar-benar diperhatikan oleh masyarakat.
Pada saat bulan Syafar, para santri dari Syekh Siti Jenar tersebut diberikan kesempatan untuk memungut sumbangan untuk kelangsungan pesantren dan santri kepada masyarakat, terutama orang-orang kaya di Cirebon pada sekitar abad ke-15 lalu.
Dari catatan sejarawan dan budayawan Cirebon, TD Sujana, orang-orang kaya pada waktu itu memberikan sumbangan yang cukup besar untuk pesantren dan santri Syekh Siti Jenar.
Pada saat itu pula dihidupkan tradisi Tawur Ji. Yaitu, waktunya eks para santri Syekh Siti Jenar diberikan kesempatan untuk memungut sumbangan, terutama dari orang-orang kaya.
Dalam tradisi Tawur Ji yang biasanya berlangsung selama bulan Syafar tersebut ada syair yang dilantunkan. “Tawur Ji tawur, selamet dawa umur (Berilah kami sedekah Tuan, kami doakan semoga Tuan panjang umur).”
BACA JUGA: Harga HP Realme November 2022, Mulai dari Sejutaan Aja
Pada zaman dahulu, tradisi Tawur Ji memang benar-benar dana yang terkumpul untuk kepentingan pesantren dan santri eks Syekh Siti Jenar.
Jauh berbeda dengan pada sekarang, kalau toh masih ada tradisi Tawur Ji itu untuk kepentingan pribadi. Dan dalam praktiknya tak ubahnya dengan meminta-minta keliling perumahan atau kampung, seperti layaknya pengemis saja. Biasanya dilakukan anak laki-laki dengan berselendang sarung ***
BACA JUGA: Peran Sunan Gunung Jati, Putri Nio Ong Tien dan Pengaruh Cina di Cirebon, Simak Catatan Budayawan