Orang yang secara kejiwaan tidak sehat, seperti orang gila, tidak punya kewajiban menjalankan shaun atau puasa Ramadhan. Pun demikian dengan orang sakit fisik, termasuk keadaan lanjut usia (lansia).
Bagaimana ketentuan atau hukum mengenai orang sakit dan lansia terhadap kewajiban puasa atau shaum Ramadhan.
Soal shaum atau puasa Ramadhan untuk orang sakit dan lansia, Asy-Syaikh as-Si’di berkata :
“Seorang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau karena penyakit yang tidak ada harapan sembuh, berkewajiban memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa (yang ditinggalkannya).”
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa ada dua golongan:
1. Orang tua lanjut usia (lansia) yang tidak mampu sama sekali berpuasa, atau merasakan beban yang sangat berat ketika berpuasa.
Lanjut usia yang dimaksud di sini adalah yang belum mengalami kepikunan. Adapun yang telah mengalami kepikunan, sudah bukan mukallaf lagi.
2. Penderita penyakit yang tidak ada harapan sembuh.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, hal ini berdasar diagnosis pakar kesehatann atau dokter yang terpercaya di bidangnya atau berdasarkan keumuman yang terjadi, bahwa penderita penyakit seperti itu biasanya tidak dapat sembuh.
Ulama berbeda pandangan dalam menetapkan hukum bagi orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena lanjut usia atau sakit yang tidak ada harapan sembuh :
1. Sebagian ulama berpendapat, orang tersebut tidak diwajibkan berpuasa.
Tetapi diwajibkan membayar fidyah, sebagai ganti setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah :
“Bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa (terdapat pilihan) untuk membayar fidyah berupa memberi makan seorang fakir miskin.” (AlBaqarah: 184)20
Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini tidak dihapus (hukumnya). Yang dimaksud adalah lelaki dan wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa, hendaklah keduanya memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari)
Begitu juga hukumnya bagi orang sakit yang tidak ada harapan sembuh karena kesamaan makna yang ada pada keduanya.
Hal ini telah difatwakan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz. Juga fatwa al-Albani, Ibnu Utsaimin dan al-Wadi’i. Ini pendapat yang benar.
2. Sebagian ulama lain berpendapat, orang yang tidak mampu lagi berpuasa, tidak diwajibkan melakukan qadha puasa dan tidak diwajibkan membayar fidyah, karena ayat tersebut telah mansukh (dihapus) secara mutlak.
Ini adalah pendapat al-Imam Malik, Abu Tsaur dan Dawud azhZhahiri. Namun pendapat ini lemah.
Dari dua pendapat ulama yang berbeda, jika Anda dalam keadaan sakit, semua diserahkan kepada Anda untuk memenuhi pilihan diantara keduanya.
Tentu saja, semua didasarkan pada kemampuan Anda. Seandainya, Anda dalam keadaan sakit, namun secara ekonomi ada kelebihan, maka sebaiknya tunaikan pendapat yang pertama atau memberi makan fakir miskin.
Namun jika dalam keadaan sakit, dan Anda tidak memiliki kemampuan secara ekonomi, pendapat kedua (tidak wajib memberi makan fakir miskin) bisa menjadi pilihan.
Kedua pendapat ulama itu baik. Tinggal disesuaikan dengan konteks atau keadaan Anda.***