SUARA CIREBON – Kabar duka. Menteri era Presiden Soeharto dan Presiden KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), Sarwono Kusumaatmadja, meninggal dunia.
Almarhum Sarwono menghembuskan nafas terakhir dalam perawatan di Rumah Sakit Adventist Penang, Malaysia pada Jumat petang pukul 17.15 WIB.
Kabar duka meninggal dunianya tokoh nasional Sarwono pertama disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono pada Jumat malam, tak berapa lama setelah menerima kabar duka.
“Beliau wafat setelah beberapa hari menjalani perawatan di RS Adventist Penang, Malaysia,” tutur Hermono menyampaikan kabar duka atas meninggal dunianya Sarwono, adik kandung almarhum Mochtar Kusumaatmadja, Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dan Menteri Luar Negeri di era Presiden Soeharto.
Sarwono Kusumaatmadja merupakan tokoh nasional yang disegani. Menjadi aktifis mahasiswa saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjabat menteri di masa Presiden Soeharto dan Presiden Gus Dur.
Sarwono yang juga politisi, mantan Sekertaris Jendral Partai Golkar ini, menjadi Menteri Pemebrdayaan Aparatur Negara di era Presiden Seharto di tahun 1983 sampai 1993, setelah sebelumnya menjadi anggota DPR RI.
Almarhum Sarwono juga pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1993 sampai 1998. Di era Presiden Gus Dur, diangkat sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan.
Di akhir hidupnya, Sarwono menjalani kehidupan dengan menjauh dari ranah publik. Sarwono lahir di masa Jepang di tahun 1943 di Jakarta.
Namun Sarwono mengaku menghabiskan masa kecilnya di Palimanan, Kabupaten Cirebon. Ia lahir dari orang tua berdarah Cirebon.
Kepada penulis, di tahun 2020, Sarwono pernah menceritakan masa kecilnya. Tinggal bersama orang tua dan saudaranya di Palimanan, Cirebon.
Sarwono pernah menceritakan masa kecilnya ketika pasukan Belanda melakukan agresi dan sampai di Palimanan, Cirebon.
“Saya masih ingat, keluarga kami kedatangan tentara Belanda. Kami semua ketakutan,” tutur almarhum Sarwono kepada penulis saat hendak menelusuri kisah tentang sejarah pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia sebelum Soekarno-Hatta membacakan proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Diceritakan, seluruh keluarganya ketakutan. Meski begitu, tentara Belanda dengan senjata lengkap ketika itu hanya menanyakan informasi kepada sejumlah warga, dan berlalu tanpa ada insiden penembakan.***