SUARA CIREBON– Gugus tugas reforma agraria (GTRA) Kota Cirebon hingga kini keberadaannya belum banyak dirasakan. Padahal GTRA Kota Cirebon telah hampir satu tahun terbentuk.
Belum efektifnya tupoksi yang dijalankan oleh tim GTRA karena terkendala anggaran. Sejak tim ini dibentuk, belum ditopang anggaran dari APBD untuk penyelenggaraan opersional GTRA dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Ketua Komisi I DPRD Kota Cirebon, Dani Mardani mendorong pihak eksekutif dan legislatif duduk bersama untuk membahas anggaran kebutuhan GTRA, agar lembaga tersebut dapat menjalankan tugas dan fungsinya.
Dani menyebut, meski telah berdiri hampir satu tahun, namun keberadaan GTRA belum dapat dirasakan manfaatnya.
Padahal, sejumlah tugas mengenai konflik dan sengketa pertanahan menanti untuk diselesaikan oleh GTRA. Baik yang bersifat sengketa antara masyarakat dengan badan/lembaga, maupun dengan pemerintah.
“Selama ini (GTRA) baru ada SK-nya saja, belum ada operasionalnya. Kami minta Pemkot dan DPRD segera membahas anggaran kebutuhan kegiatan GTRA, agar dapat menjalankan tupoksinya,” kata Dani, Rabu, 21 Juni 2023.
Pihaknya mendorong tim segera menyusun anggaran kebutuhan operasional GTRA sesuai dengan program kerja.
“Segera program kerja disusun dan sesegera mungkin melakukan penganggaran sesuai kebutuhan program kerja,” ujar Dani.
Sebagai informasi, GTRA di Kota Cirebon terbentuk melalui surat keputusan SK Wali Kota Cirebon Nomor 590.05/Kep.265-DPUTR/2022, tentang Pembentukan Tim GTRA Kota Cirebon, tertanggal 25 Juli 2023.
Tim GTRA diketahui oleh Wali Kota Cirebon, wakil ketua Sekretatis Daerah, serta pelaksana harian kepala kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cirebon.
Sedikitnya ada 10 tugas yang menjadi tupoksi GTRA, di antaranya mengoordinasi penyediaan objek tanah reforma agraria (TORA) dalam rangka penataan aset Kota Cirebon, serta mengoordinasi dan memfasilitasi penyelesaian konflik dan sengketa agraria.
Saat ini, beberapa persoalan krusial mengenai konflik agraria di Kota Cirebon menanti untuk segera ditangani GTRA. Misalnya, masalah lahan eks pemakaman warga Tionghoa Kutiong dan Sentiong Wanacala. Selain itu, ada juga beberapa persoalan terkait sengketa lahan yang menyangkut aset barang milik daerah (BMD) lainnya.***