SUARA CIREBON – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah duet kepemimpinan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, Gus Yahya dan Gus Ipul terlalu dominan tampil dengan gestur ormas Islam rasa partai politik.
Bahkan dalam konteks Pilpres 2024, PBNU cenderung berpihak, tidak netral dan partisan, serta menarik gerbong struktural NU menjadi bagian dari support system atau tim sukses bayangan dari paslon capres nomor urut dua (2) Prabowo Gibran.
“Ini sangat disesalkan. Untuk menjaga marwah, PBNU harus netral, berdiri secara proporsional di semua golongan atau pasangan capres-cawapres dalam kontek kontestasi pilpres tahun ini,” ujar mantan pengurus harian PWNU Jawa Barat, KH Adlan Dai dalam rilisnya yang diterima redaksi, Kamis 18 Januari 2024.
Menurutnya, sebagai aktivis NU, bahkan pernah menjadi pengurus harian PWNU Jawa Barat, yakni periode 2010-2021, pihaknya mengaku terus terang sangat kecewa dengan sikap politik PBNU tersebut.
Adlan juga setuju dengan kritik keras Gus Salam yang menuding PBNU telah melakukan tindakan politik murahan, pelanggaran berat terhadap khittah NU dan demoralisasi akut di tubuh struktur NU.
“PBNU sebagai struktur tertinggi ormas Islam terbesar di Indonesia harus memberi teladan bagi warga nahdliyiin, taat dan berpegang teguh pada prinsip 9 pedoman berpolitik bagi warga NU sebagaimana tertuang dalam naskah khittah NU 26 (1984),” terang Adlan.
Dalam khittah NU, jelas Adlan, ditegaskan bahwa NU adalah ormas Islam tidak partisan dalam politik. NU tidak boleh oleh siapa pun pimpinan PBNU direduksi hanya untuk mengawal rejim penguasa politik, tidak berperan sebagai relawan politik dalam kontestasi politik.
Ia menandaskan, politik NU bukan milisi sipil, alat dukung mendukung dalam kontestasi politik, terlebih pihak yang didukungnya paslon capres nomor urut dua (2) yang sama sekali tidak memiliki rekam jejak dan relasi historis dan ideologis apa pun dengan NU.
“Politik NU adalah politik moral, penuntun etik dan akhlak kehidupan umat, bangsa dan negara. Itulah marwah politik NU, sebuah kekuatan jalan peradaban NU melintasi semangat zaman,” tutur Adlan.
Rejim politik boleh berganti, datang dan pergi tetapi NU tetap menjadi kekuatan masyarakat sipil mengawal arah kiblat bangsa.
Menurutnya, keteladanan pemimpin PBNU dalam komitmen berpegang pada prinsip khittah NU di atas penting agar NU tidak kehilangan sumber kekuatan moralitasnya dan warga NU di akar rumput tidak (kultural) mengalami disorientasi sehingga ‘mufarroqah’, berpisah jalan dengan NU struktural.
“Jadi, menjaga netralitas PBNU dalam Pilpres 2024 adalah pilihan sikap politik menjaga marwah dan martabat politik NU. Kuncinya hanyalah teladan dari para elite pemimpin PBNU,” harap Adlan.***