SUARA CIREBON – Reaksi keras warga Kota Cirebon tak terhindarkan begitu Penjabat Walikota H Agus Mulyadi memberlakukan kenaikan PBB P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) mencapai 1000 persen.
Tidak hanya kaget, kenaikan PBB di Kota Cirebon yang mencapai 1000 persen dinilai lebih kejam dari pada masa pemerintahan kolonial atau penjahan Belanda.
Pengamat sosial dan budaya Kota Cirebon, Suhu Jeremy Huang Wijaya, mengungkapkan, belum pernah dalam sejarahnya di Tanah Air kenaikan PBB sampai 1000 persen.
“Jangankan 1000 persen, yang mencapai 100 persen pun belum ada. Sejak masa penjajahan Inggris dan Belanda, belum pernah ada catatannya. Baru kali ini, justru di era pemerintahan sendiri, mencatat sejarah baru, kenaikan PBB sampai 1000 persen,” tutur Suhu Jeremy, Jumat 21 Juni 2024.
Suhu Jeremy berupaya menelusuri sejarah PBB. Berdasar buku “Wahyu Yang Hilang Negara yang Goncang” tahun 2019, sejarawan Ong Hok Kam menuliskan Pajak Bumi Bangunan (PBB) pertama kali diterapkan pada era Gubernur Jendral Militer Inggris, Raffles.
Di bawah Raffles, pemerintah kolonial Inggris di Nusantara, memberlakukan PBB pertama kalinya pada Februari 1814.
Raffles mengadopsi dari Raiyatwari, sistem yang di terapkan di Madras India sejak tahun 1792.
PBB, merupakan usaha memungut pajak bumi secara langsung dengan meneliti tanah garapan dari masing masing pemilik tanah.
Hitungan pajak bumi dengan menaksir berdasakan setiap tanah milik. PBB dikumpulkan secara langsung dari para tuan tanah.
PBB diterapkan Raffles melalui surat keputusan yang dikeluarkan Februari 1814. Ada dua kategori besar yang terkena pajak, yakni sawah dan tegal (ladang huma).
Sawah kelas 1 mesti mengeluarkan pajak setengah dari hasilnya. Sawah kelas II dua perlima dari hasil sebagai pajak, dan sawah kelas III sepertiga dari hasil sebagai pajak.
Sementara tegalan kelas I, dua perlima dari hasil sebagai pajak. Tegal kelas II sepertiga dari hasil sebagai pajak. Dan tegal kelas III seperempat dari hasil sebagai pajak.
Saat Raffles pertama memberlakukan PBB yang menjadi kantong sebagian besar penghasilan pemerintah jajahan, menimbulkan banyak pemberontakan dari petani.
Kisah bersejarah yang sangat legendaris, yakni Pemberontaan Petani Banten di tahun 1888, diantaranya berawal dari pemberlakuan PBB.
Petani Banten mengangkat senjata dalam peristiwa pemberontakan yang berdarah-darah di paruh kedua abad 19.
Namun jika melihat peraturan PBB yang dikeluarkan jaman Rafles, jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan PBB oleh Pemerintah Kota atau Pemkot Cirebon di era setelah 79 tahun merdeka.
“Saat itu, Raffles memungut pajak tertinggi 70 persen. Sudah menimbulkan pemberontakan petani. Ironisnya, di era kemerdakaan, Pemkot Cirebon menaikkan pajak minimal 150 persen, bahkan ada yang sampai 1000 persen,” tutur Suhu Jeremy.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” (2015) mengungkapkan bagaimana pengutipan pajak (diantaranya pajak bumi dan pasar) pada 1878 sangat membani penduduk saat itu.
“Untuk pajak pasar, setiap orang yang berjualan di pasar harus membayar sekurang-kurangnya satu gulden. Orang yang tidak membayar pajak itu diancam dengan hukuman kurungan atau denda sebesar 15 gulden,” tutur Suhu Jeremy mengutip tulisan Sartono.
Sartono menyebut, kegusaran penduduk terhadap pungutan pajak menjadi bertambah karena langkanya uang, dan rendahnya harga hasil pertanian.
Salah satu riaknya, melahirkan pemberontakan terjadi pada akhir 1825. Orang yang menghasut pemberontakan itu adalah Tumenggung Mohamad, seorang demang dari Menes, Pandeglang, Banten.
“Ia dan pengikutnya menolak untuk membayar pajak, dan gerakan itu kemudian berkembang menjadi huru-hara yang ditujukan terhadap pemungut-pemungut pajak,” tutur Suhhu Jeremy membacakan tulisan Sartono.
Berdasar catatan sejarah, tarif tertinggi kenaikan pajak, dari era Raffles, Van den Bosch dan era penjajahan Belanda, maksimal 77 persen. Itupun diterapkan untuk warga dengan pendapatan di atas $1.000.000.
Sejarah juga mencatat ketika di Batavia banyaknya pajak diberlakukan di tahun 1740 banyak terjadi perpindahan penduduk dari Batavia ke Banten dan Mataram Jogja.
Migrasi warga keuar dari Batavia, termasuk pada orang-orang China ketika itu, bergelombang ke wilayah Banten dan daerah kekuasaan Mataram di sepanjang pantai utara (pantura).
Peristiwa geger Pecinan, juga bertali-temali diantaranya dengan protes keras atas pemberlakuan pajak kepada Belanda dan VOC yang memberatkan penduduk Batavia.
“Saat itu, terjadi gelombang migrasi warga Tionghoa keluar dari Batavia menuju Banten dan daerah wilayah kekuasaan Mataram seperti Semarang, Lasem di sepanjang pantura,” tutur Suhu Jeremy.
Sejarah tersebut menurutnya, harus menjadi cermin bagi Pemkot Cirebon hari ini. Jika kenaikan PBB yang ugal-ugalan tetap diberlakukan, selain ekonomi akan merosot, bakal terjadi migrasi.
“Bedanya, kalau di era kolonial Belanda dan VOC, migrasi itu perpindahan penduduk keluar Batavia, untuk era sekarang, migrasi terjadi pada modal,” tutur Suhu Jeremy.
Warga Kota Cirebon akan memindahkan modal keluar. Menarik investasi di Kota Cirebon. Di sisi lain, investor yang berencana akan menanamkan modal akan menahan diri, atau mengalihkan ke daerah lainnya.
“Di era kolonial Belanda ada citizen flow atau perpindahan penduduk, di era sekarang seperti kasus kenaikan PBB di Kota Cirebon, akan merangsang capital flow, kaburnya modal dari Kota Cirebon. Ini akan mempengaruhi dinamika ekonomi kota ini,” tutur Suhu Jeremy.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.