SUARA CIREBON – Ratusan masyarakat Desa Hulubanteng, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Cirebon, yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Hulubanteng Bersatu (GMNB) meluruk balai desa untuk menyampaikan kekecewaan atas kinerja aparatur pemerintah desa di bawah pimpinan Kuwu Tirjo, Selasa, 8 Oktober 2024.
Masyarakat menilai kinerja aparatur pemerintah desa tidak sesuai dengan visi dan misi yang telah dijanjikan.
Koordinator aksi, Eka Andri, mengatakan masyarakat sudah lama memendam rasa kecewa dan geram terhadap jalannya roda pemerintah desa yang dinilai tidak sesuai dengan visi dan misi Kuwu Tirjo. Pasalnya, dari semua janji politik, tidak ada satu pun yang terealisasi.
Selain itu, masyarakat pun menyoroti kinerja aparatur desa yang dinilainya tidak mencerminkan sebagai abdi masyarakat. Serta, tidak adanya sinergitas yang baik antara aparatur desa dengan kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa.
“Kami merasa kecewa dan geram selama ini jalannya pemerintah desa sudah tidak sehat, sehingga masyarakat meluruk dan menuntut kuwu mundur dari jabatannya,” ujar Eka Andri kepada awak media.
Eka menyebut, ada beberapa poin yang menjadi tuntutan masyarakat di antaranya, terkait pembiayaan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), dimana masyarakat dikenakan biaya sebesar Rp650.000.
“Hal ini (biaya Rp650.000, red) jelas tidak sesuai dengan aturan dalam program PTSL tersebut,” tegasnya.
Kemudian, tidak adanya transparansi jumlah masyarakat yang terdaftar di program PTSL tersebut.
“Program PTSL di Desa Hulubanteng ini patut diduga tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah, karena biaya resmi yang dibebankan kepada masyarakat penerima program PTSL sebesar Rp150.000, tetapi ada tambahan Rp500.000 yang menurut kami disebut dengan pungutan liar alias pungli,” katanya.
Pihaknya juga menyoroti jalannya pembangunan desa di era Kuwu Tirjo yang dirasakan menyimpang dari yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan yang telah musyawarahkan dengan semua pihak.
Eka mencontohkan, permasalahan yang sangat urgen yang dihadapi petani yakni sumber air, dimana Pemdes kurang respect terkait jatah air bergilir.
“Pemdes berdiam diri saat air ke arah persawahan di Hulubanteng ternyata disodet ke arah Pabuaran sehingga menimbulkan keresahan petani di sini,” imbuhnya.
Aksi masyarakat tersebut diterima Kuwu Hulubanteng, Tirjo beserta jajaran pemerintahan desa dan disaksikan aparat keamanan dari Polsek dan Koramil Pabuaran serta pihak kecamatan.
Kuwu Tirjo menjelaskan, apa yang menjadi tuntutan masyarakat terkait pembangunan yang tidak sesuai regulasi, salah satunya pembangunan galian yang ada di luar pagar desa, itu bukan program pembangunan desa.
“Itu bukan program pembangunan desa, melainkan program yang menjadi kewenangan Dinas PU dan pemdes pun tidak dilibatkan. Intinya itu bukan program desa,” kata Tirjo.
Terkait tata gilir air irigasi untuk pertanian, Tirjo menjelaskan, kasus itu terjadi pada bulan September saat debit air minim.
“Dan itu kewenanganya UPTD Pertanian,” katanya.
Untuk program PTSL, Tirjo menjelaskan, warga yang mendaftar PTSL minimal sudah memiliki surat resmi kepemilikan atas tanah yang dikuasainya.
“Apabila tanah yang dimiliki berdasarkan warisan yang tidak memiliki surat yang menyatakan benar milik masyarakat, warga harus membuka segel desa dahulu. Adapun biaya sebesar Rp500.000 itu untuk buka segel desa. Dan ini sebenarnya sudah berjalan dari dulu, kalau kami menghilangkan nantinya dianggap merusak tatanan yang sudah ada dari dulu,” ungkapnya.
Namun, Tirjo mengakui masih banyak kekurangan dalam pemerintahan desa yang dipimpinnya.
“Intinya, apa yang menjadi tuntutan masyarakat akan diselesaikan semua hari Rabu besok (hari ini, red). Akan kami sampaikan secara langsung melalui musyawarah desa,” pungkasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.