SUARA CIREBON – Sebuah video menyentuh hati yang memperlihatkan kondisi seorang pasien miskin dengan narasi ditelantarkan oleh pihak Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati Kota Cirebon karena tidak mampu membayar biaya administrasi sebesar Rp14,3 juta, viral dan beredar luas di media sosial.
Video yang diunggah oleh akun TikTok @ibnusaechulaw ini telah ditonton hampir 1 juta kali dan menuai gelombang kemarahan dari warganet. Dalam rekaman tersebut, tampak pasien terbaring lemas dengan jarum infus yang sudah tak mengalirkan cairan, tanpa diberikan makanan selama tiga hari.
Diketahui, pasien itu bernama Ranujaya, warga Desa Jagapura Lor, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, yang tengah dirawat setelah mengalami gigitan ular berbisa.
“Ya Allah, kejam amat pelayanan rumah sakit ini. Dalam penjara saja dikasih makanan, kok di rumah sakit tidak dikasih,” ucap pengunggah video dengan nada kecewa dalam narasi video yang viral itu.
Kondisi memprihatinkan tersebut langsung memicu reaksi keras dari masyarakat. Warganet mengecam keras tindakan rumah sakit yang dianggap tak memiliki empati terhadap pasien dari kalangan tidak mampu.
Saat dikonfirmasi, pemilik akun TikTok, Ibnu, membenarkan kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa pasien akhirnya diperbolehkan pulang setelah dirinya membayar Rp1 juta sebagai penjamin pribadi, meski total tagihan mencapai Rp14,3 juta.
“Pasien ini anak dari seorang janda dengan lima anak. Mereka benar-benar tidak mampu. Saya hanya ingin membantu agar dia bisa pulang dan mendapatkan perlakuan manusiawi,” ujar Ibnu melalui sambungan telepon.
Menanggapi video viral tersebut, jajaran RSD Gunung Jati Cirebon menggelar jumpa pers untuk memberikan klarifikasi.
Dalam klarifikasinya, Direktur RSD Gunung Jati Cirebon, dr Katibi didampingi jajaran direksi menuturkan, pasien yang viral atas nama Ranu Jaya warga Japura Kulon, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon tiba di IGD RSD Gunung Jati, pada hari Kamis tanggal 3 Juli 2025, pukul 15.14 WIB.
Setibanya di IGD pasien yang terkena gigitan ular itu langsung diberikan pelayanan medis yakni pelayanan penyelamatan nyawa.
“Kami layani sesuai dengan prosedur dan di IGD juga kami memberikan pelayanan upaya penyelamatan nyawa dengan memberikan serum anti-bisa, kemudian kami juga melakukan pelayanan darurat yang lain,” kata Katibi di hadapan awak media, Selasa, 15 Juli 2025.
Katibi membantah keras bahwa selama perawatan pasien tidak diberi makan cenderung ditelantarkan. Ia mengungkapkan, sejak awal, petugas rumah sakit sudah menangani pasien tanpa pernah mempertanyakan soal biaya, meski Ranujaya tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
“Walaupun yang bersangkutan itu bukan pasien BPJS tapi kami memberikan pelayanan penyelamatan nyawa tanpa menanyakan biaya. Kami lakukan penanganan cepat karena kondisinya memburuk,” katanya.
Setelah dianggap stabil, pasien segera dibawa ke ruangan semi intensif untuk mendapatkan pelayanan medis selanjutnya. Di ruangan semi intensif, lanjut Katibi, pasien kembali mendapatkan pelayanan dengan diberikannya serum anti bisa sebanyak dua vial.
“Jadi pasien ini kami berikan 4 serum anti bisa. Pertama dua serum di IGD, kedua dua serum di ruangan semi intensif,” katanya.
Menurut Katibi, keluarga pasien bersedia menjadi pasien umum karena bukan peserta PBI BPJS Kesehatan maupun BPJS Kesehatan mandiri.
“Keluarga akan mengurus kepesertaan PBI BPJS Kesehatan sembari pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit,” katanya.
Karena masuk kategori pasien umum, tegas Katibi, biaya penyuntikan serum dibebankan kepada pasien atau keluarga pasien.
“Harga Rp 2 juta per vial dan itupun kami tidak mempersoalkan biaya yang penting selamat dulu. Ikhtiar dulu agar pasien segera sembuh,” ujar Katibi.
Kemudian setelah dianggap membaik, pada hari Minggu sore, tanggal 6 Juli pasien dipindahkan ke ruang rawat inap. Di hari Senin, 7 Juli 2025, pasien mendapatkan visit dokter dan kondisi sudah dianggap membaik.
Sehingga, menurut dia, pasien sudah diperbolehkan pulang pada Selasa, 8 Juli 2025. Ia mengatakan, petugas di ruangan sudah berkoordinasi dengan keluarga sejak Senin, 7 Juli 2025.
Pihak rumah sakit meminta keluarga pasien membayar biaya pengobatan sebesar Rp14.129.155. Namun keluarga meminta waktu menginap sehari sembari mencari biaya pelunasan.
“Kami berikan waktu sehari di ruang rawat inap karena permintaan dari keluarga pasien,” ungkapnya.
Perawat RSD Gunung Jati menginformasikan bahwa bila tetap dirawat akan terus menambah biaya, baik kamar maupun lainnya.
“Di hari Rabu, 9, Juli 2025, diberikan informasi yang sama dan dari pihak keluarga mengajukan permohonan berhenti sebagai pasien rawat inap dengan belum ada kejelasan pembiayan. Rumah sakit tidak keberatan, dinyatakan pasien sudah berhenti di ruang rawat inap,” ujarnya.
Meski demikian, katanya, pasien tetap diberikan hak perawatan terhitung sejak hari Senin sampai dengan Rabu, termasuk makan dan minum. Pada hari Rabu sore sampai Kamis, 10 Juli 2025 pelayanan sudah dihentikan atas permintaan dan persetujuan keluarga.
“Kami memastikan tidak ada penahanan ataupun melantarkan, itu yang bisa kami sampaikan,” pungkasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















