SUARA CIREBON – Kunjungan kerja Bupati Cirebon, H Imron bersama Kapolresta Cirebon dan Dandim 0620/Kabupaten Cirebon untuk meninjau lokasi pasar darurat Desa Jungjang, Kecamatan Arjawinangun, sempat diwarnai aksi protes dari sebagian pedagang yang menolak direlokasi.
Bupati Imron menjelaskan, kedatangannya bersama Forkopimda untuk meninjau pasar darurat Desa Jungjang yang akan menjadi lokasi berjualan sementara bagi pedagang, karena pasar darurat yang saat ini ditempati menggunakan bahu jalan sehingga dinilai melanggar hak pengguna jalan dan ketertiban umum.
“Pasar darurat yang sekarang ditempati kan memakan bahu jalan, maka para pedagang di sini akan dipindahkan ke pasar darurat yang telah disediakan, karena nanti jalan tersebut akan difungsikan kembali sebagaimana mestinya,” kata Imron, Kamis, 21 Agustus 2025.
Bupati menegaskan, relokasi ini n untuk menata para pedagang supaya tidak lagi berjualan di bahu jalan.
“Kami dari pemerintah daerah hakikatnya adalah untuk kemaslahatan masyarakat, tidak ada motif-motif lainnya. Pedagang yang sempat menolak dipindahkan mungkin informasi yang didapat kurang tepat,” ujarnya.
Terkait kondisi pasar darurat yang menjadi dasar penolakan pedagang, Imron menjelaskan, sebagai pasar desa pengelolaan Pasar Jungjang berada di bawah pemerintah desa setempat.
“Pasar darurat ini yang mengelola adalah desa sehingga bukan menjadi kewenangan dari pemerintah daerah. Kalau pasar miliknya pemerintah daerah baru kami bisa menentukan. Tetapi meskipun ini milik pasar desa, Pemkab Cirebon terus berkordinasi dengan Pemdes Jungjang dalam memberikan solusi dan bimbingan kepada kuwu,” tandasnya.
Banyak Faktor
Sementara itu, Himpunan Pedagang Pasar (HIMPPAS) Jungjang melihat alotnya proses relokasi para pedagang dari pasar darurat lama ke pasar darurat baru disebabkan berbagai faktor. Terbukti, hingga Kamis, 21 Agustus 2025 ini, belum ada satu pun pedagang yang membongkar lapaknya untuk pindah ke pasar darurat yang baru.
Sekretaris HIMPPAS Jungjang, Aden Deni, mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat para pedagang belum memindahkan barang dagangannya ke tempat yang baru. Ia mengatakan, proses relokasi tidak dilakukan dengan sosialisasi yang masif. Artinya, sosialisasi relokasi dinilai sangat minim, sehingga banyak pedagang yang tidak tahu kapan harus pindah ke pasar darurat baru.
Minimnya sosialisasi ini diperkuat oleh pernyataan salah satu pedagang kue saat diwawancarai Bupati Cirebon, H Imron, yang meninjau langsung ke pasar darurat tersebut. Dalam dialog dengan Bupati, pedagang tersebut mengaku belum memindahkan barang dagangannya karena belum ada pemberitahuan.
“Waktu Bupati nanya ke salah satu pedagang kue, kenapa ini, sudah saatnya pindah tapi belum dibongkar? Dijawab pedagang itu karena belum ada pemberitahuan,” jelas Aden.
Selain itu, faktor lainnya ialah karena kondis pasar darurat baru tidak sesuai ekspektasi para pedagang. Pasalnya, luas lapak yang disediakan di pasar darurat baru hanya 1,5 meter2. Tempat tersebut dinilai lebih sempit dibandingkan dengan pasar darurat yang saat ini ditempati yakni 2 meter2.
“Pasar darurat tidak sesuai ekspektasi pedagang. Karena lokasinya nyempod (di pojok terisolir, red) dan banyak genangan air kalau hujan. Terus kalau pindah lagi kan butuh biaya. Jadi macam-macam (faktornya, red),” ujar Aden.
Posisi HIMPPAS sendiri, kata dia, tidak berdiri di salah satu pihak. Namun yang pasti, HIMPPAS berada di barisan para pedagang dan masyarakat setempat. Jika melihat masa berlaku penggunaan ruas jalan sebagai pasar darurat yang masih ditempati saat ini, sudah saatnya para pedagang pindah ke tempat baru.
“Memang harus pindah sejak tanggal 14 Februari 2023 yang lalu. HIMPPAS sih setuju relokasi, karena fasilitas umum (jalan, red) itu untuk pejalan kaki dan pengendara,” paparnya.
Namun, lapak baru di pasar darurat baru harus disiapkan dengan ukuran yang layak dan aman dari genangan air.
“Ketika kebaikan dan keadilan itu hadir dan dirasakan oleh semuanya, kami sangat setuju relokasi,” paparnya.
Aden berharap, agar selanjutnya ada pihak yang meneruskan pembangunan pasar permanen yang pro terhadap semua pedagang. Para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan pun diharapkabn bisa memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kenyamanan bagi semuanya.
“Jadi jangan terkatung-katung seperti ini. Kasihan para pedagang terus menunggu termasuk menunggu kepastian pembangunan pasar,” paparnya.
Senada, salah satu pedagang yang menolak, Hj Nani, menyatakan, kekhawatirannya jika harus pindah ke lokasi pasar darurat yang baru.
“Kalau pindah ke pasar darurat terus pembelinya sepi, kita tidak bisa untuk menebus pasar (permanen, red). Kalau keinginan pedagang itu pasar permanen dapat diselesaikan dan dibangun sehingga tidak harus pindah-pindah tempat lagi,” ujarnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















