SUARA CIREBON – Nama “Cirebon Nagari” mulai mengemuka setelah wacana pembentukan Kabupaten Cirebon Timur sebagai Calon Daerah Persiapan Otonomi Daerah Baru (CDPOB) disetujui oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dan Pemprov Jawa Barat dalam rapat paripurna pada Rabu, 10 September 2025.
Dengan adanya persetujuan dari DPRD dan Pemprov Jabar ini, daerah baru Cirebon Timur semakin mendekati kenyataan. Namun, munculnya nama “Cirebon Nagari” sebagai identitas calon daerah baru Cirebon Timur ini memicu perdebatan, terutama di kalangan budayawan.
Salah satu pegiat budaya Cirebon, R Chaidir Susilaningrat, menilai penggunaan nama “Cirebon Nagari” sebagai nama daerah baru Cirebon Timur, kurang tepat.
Menurutnya, istilah Caruban Nagari (CN) dalam naskah kuno justru merujuk pada wilayah yang jauh lebih luas daripada Cirebon Timur saat ini.
“Jadi, kalau Cirebon Timur menggunakan nama CN, itu justru mengecilkan makna sejarah itu sendiri,” ujar R Chaidir, Senin, 22 September 2025.
Ia menjelaskan, nama CN merupakan sebutan wilayah pada masa kejayaan Sunan Gunung Jati yang saat itu meliputi bekas wilayah Kerajaan Pajajaran. Bahkan luas CN kala itu mencakup hingga daerah Subang, Sumedang, Tasik, Garut, dan Banten.
Menurut Chaidir, nama CN erat kaitannya dengan sejarah Islamisasi di Jawa Barat yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati. Sehingga, menyematkan nama CN pada daerah yang cakupannya jauh lebih kecil dari wilayah bersejarah itu bisa menimbulkan kesan tidak seimbang.
Chaidir menyarankan agar penamaan daerah baru Cirebon Timur mengacu pada sejarah lokal. Ada banyak nama yang bisa digunakan berdasarkan sejarah kawasan Cirebon Timur, di antaranya mengangkat nama kerajaan Japura.
Dulu, kerajaan Japura dengan Raja Amuk Marugul pernah berjaya sehingga layak dijadikan nama daerah baru tersebut.
Selain itu, ada pula tokoh fenomenal seperti Pangeran Losari dan Pangeran Gebang yang lebih merepresentasikan sejarah Cirebon Timur secara khusus.
“Bahkan bisa juga menggunakan nama kawasan yang punya nilai historis dalam produksi gula, seperti Sindanglaut,” kata Chaidir.
Selain soal nama, Chaidir juga menyoroti rencana penentuan ibu kota kabupaten baru Cirebon Timur. Ia menyebut, faktor utama penentuan pusat pemerintahan adalah letak geografis, agar pelayanan publik mudah dijangkau.
Jika melihat letak geografis, maka tidak salah jika Karangwareng dan Karangsembung menjadi nominasi kedudukan ibu kota Cirebon Timur.
“Ibu kota juga bisa dirancang dengan konsep modern seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) agar membawa manfaat lebih luas,” terangnya.
Perdebatan soal nama dan identitas kabupaten baru yang menjadi sorotan, khususnya dari kalangan budayawan ini diharapkan tidak hanya mempertimbangkan aspek administratif, tetapi pemilihan nama juga melihat nilai historis dan kultural.
Berdasarkan kajian sementara, Cirebon Timur akan terdiri dari 16 kecamatan dengan luas wilayah 446,57 kilometer persegi. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain Astanajapura, Babakan, Ciledug, Gebang, Greged, Karangsembung, Karangwareng, Lemahabang, Losari, Pabedilan, Pabuaran, Pangenan, Pasaleman, Sedong, Susukan Lebak, dan Waled.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono menjelaskan, calon lokasi pusat pemerintahan yang kini mengerucut menjadi tiga dari lima titik yang sempat dibahas.
Salah satunya berada di Desa Karangmalang. Lokasi ini dinilai memiliki sejumlah keunggulan, terutama karena lahannya merupakan tanah desa, bukan milik pribadi.
“Kalau tanah desa, tentu pengelolaannya lebih mudah. Selain itu, informasinya juga tidak berada di kawasan rawan bencana. Jadi ini bisa menjadi alternatif prioritas,” ujar Ono.
Meski demikian, keputusan final tetap ada di tangan Pemerintah Kabupaten Cirebon bersama masyarakat setempat.
Ia menekankan agar lokasi pusat pemerintahan jangan sampai menjadi perdebatan, melainkan harus berdasarkan kajian teknokratis dan bukan kepentingan politik.
Ono meminta, pemekaran daerah tidak dilakukan terburu-buru. Pemerintah harus memastikan infrastruktur dasar benar-benar siap, mulai dari jalan, layanan publik, hingga pendidikan.
Ia juga menyoroti banyaknya kecamatan di wilayah timur Cirebon yang belum memiliki sekolah negeri tingkat SMA/SMK.
“Menurut saya yang paling penting infrastruktur dasar dulu. Jalan masih banyak yang rusak, sekolah negeri juga belum merata. Kalau ini tidak disiapkan, nanti justru masyarakat yang terbebani setelah dimekarkan,” paparnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















