Kesimpulan Disperdagin Soal Anjloknya Harga Produksi Petani Cirebon
SUMBER, SC- Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kabupaten Cirebon berupaya agar harga garam tak semakin menurun, dengan melakukan sertifikasi produk Standar Nasional Indonesia (SNI). Sehingga garam lokal Cirebon memiliki sertifikat SNI.
“Upaya yang sudah kami lakukan, yang pertama di sertifikasi produk. Karena garam tidak hanya untuk dikonsumsi saja, tapi untuk bagaiman bisa digunakan untuk industri kecantikan dan garam SPA,” kata Kepala Disperdagin Kabupaten Cirebon, Deni Agustin, Suara Cirebon, saat ditemui di perkantoran Kabupaten Cirebon, Rabu (3/7).
Tambah Deni, ketika industri garam ini akan difasilitasi secara gratis untuk ber-SNI. Dengan industri garam yang ber-SNI, harapannya garam bisa lebih laku.
Pihaknya akan melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pengusaha dan petani garam. “Kita membangun MoU agar asosiasi petani garam dengan asosiasi pengusaha garam itu bertemu memprioritaskan menyerap garam lokal Cirebon,” kata dia.
Deni mengatakan, anjloknya harga garam dikarenakan perubahan cuaca. Di musim hujan biasanya harganya tinggi sampai Rp2.000 atau Rp3.000. Kalau musim panas panen raya, sehingga garam banyak dan harganya pun turun.
Terkait adanya impor garam ke Kabupaten Cirebon, Deni belum tahu. Baginya harga garam anjlok disebabkan siklus cuaca, sehingga pihaknya akan terus berupaya meningkatkan kualitas garam di Kabupaten Cirebon.
“Saya belum mengetahui persis apakah ada (garam) impor atau tidak. Karena memang produskinya memang meningkat yah, ini siklus. Memang ke depan perlu ada upaya-upaya karena garam kita juga perlu ditingkatkan kualitasnya,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa garam yang ada di Kabupaten Cirebon tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi harus bisa memasuki industri. Untuk bisa masuk industri Natrium Clorida (NaCl) harus di atas 92.
“Produksi garam ini bisa ditingkatkan kualitasnya. Sehingga pasarnya bisa lebih terbuka dan produksi yang banyak bisa diserap untuk kepentingan industri. Karena penyerapan garam terbesar itu untuk kepentingan industri, konsumsinya hanya 30 persen,” tuturnya.
Kepala Bidang (Kabid) Perdagangan Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kabupaten Cirebon, Dadang Heriyadi menambahkan, anjloknya harga garam petambak di Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon merupakan permasalahan serius yang harus dicari solusinya.
Dari hasil evaluasi, diketahui kandungan natrium clorida (NaCl) pada garam yang dihasilkan petani tambak masih di bawah 92. Kondisi itu membuat garam tersebut tidak memenuhi standar pasar industri, karena untuk bisa dijual ke industri kualitas NaCl garam harus berada di angka 94 sampai 95. “Kualitas NACL rendah yang menyebabkan masuk pasar industri agak sulit bersaing,” kata Dadang.
Untuk mengantisipasinya, kata Dadang, dengan meningkatkan kualitas garam produksi petambak. Selain itu, harus digunakan Sistem Resi Gudang (SRG), sehingga ketika hasil panen masuk ke gudang, petambak tidak merugi karena sudah ada penjamin.
Ketika harga garam mulai naik, garam dalam gudang bisa dijual. “Kami berupaya agar perbankan bisa memberlakukan SRG, sehingga (ketika garam masuk gudang) petani dapat dulu uangnya. Karena ada bank yang menjamin,” papar Dadang.
Namun, sejauh ini Kabupaten Cirebon masih belum memiliki SRG, baru memiliki gudangnya saja. “Masalahnya Cirebon belum punya SRG, baru punya gudangnya saja,” tukasnya.
Selain itu, garam juga belum mempunyai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Sehingga pembeli atau tengkulak masih bisa seenaknya mempermainkan harga garam.
“Kalau sudah ada HET, Kita bisa berpatokan ke situ. Sehingga pembeli tidak bisa memainkan harga,” tandasnya. (M Surya)