Lahan Pertanian Gagal Panen, Tuding Sistem Gilir Air Kacau, Sebagian Beralih Produksi Batu Bata
CIREBON, SC- Para petani Desa Jagapura Wetan dan Jagapura Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon menggelar aksi pengibaran bendera putih di area persawahan mereka, Jumat (26/7). Aksi tersebut dilakukan sebagai simbol mereka menyerah dan tidak mampu lagi menggarap lahan untuk ditanami padi pada musim gadu ini.
Mereka menyayangkan, hingga di penghujung Juli ini pasokan air melalui sistem tata gilir air tidak memadai. Sehingga, kondisi lahan persawahan tidak bisa dikelola untuk penyemaian apalagi untuk ditanami padi.
Padahal, sebelumnya para petani sudah meminta pemerintah kabupaten (pemkab) dan dinas terkait agar menambah waktu tata gilir air untuk petani di dua desa tersebut. Dengan harapan, lahan persawahan mereka bisa ditanami.
Mereka meminta penambahan waktu tata gilir air dari 12 per minggu menjadi 72 jam atau 3 hari 3 malam dalam seminggu. Namun kenyataannya, dinas terkait tidak bisa memenuhi permintaan mereka, sehingga musim tanam kedua tahun ini tidak bisa diselamatkan.
Salah seorang petani desa setempat, Madroni (53) mengatakan, akibat kondisi tersebut ia mengaku merugi puluhan juta rupiah. Karena, uang yang sudah ia keluarkan untuk sewa lahan tidak terbuang begitu saja.
“Kalau petani kan bisa ambil untungnya di musim tanam kedua ini, karena hasil panen pada musim rendengan (penghujan) hanya untuk menutup biaya sewa lahan. Itu pun kadang kurang, harapannya ya di musim gadu ini. Tapi ternyata di musim kedua ini malah nggak bisa tanam, ya sudah hancur semua,” ujarnya.
Senada disampaikan Ketua Gapoktan Citra Mandiri, Uug Khujaeni. Menurutnya, Waduk Jatigede yang dibangun pemerintah untuk mengatasi kondisi pertanian di musim gaduh, ternyata keberadaannya tidak bermanfaat bagi petani Jagapura Wetan dan Jagapura Kidul.
“Total area persawahan yang gagal tanam di dua desa ini 300 hektare. Dari dulu petani di sini selalu dianaktirikan oleh DPSDA Kabupaten Cirebon,” tandasnya.
Uug menilai, kondisi itu terjadi karena sistem tata gilir air yang tidak proporsional. Kinerja UPTD pengairan setempat juga dianggap tidak profesional.
Dalam aksi tersebut, mereka membuat pernyataan sikap dan menuntut kepala DPSDA dan UPTD Kumpulkwista dicopot dari jabatannya. Karena, mereka menilai keduanya telah membiarkan ratusan hektare sawah gagal tanam. Padahal daerah tersebut merupakan lumbung padi bagi Kabupaten Cirebon.
“Solusinya pemerintah daerah harus berani mengambil sikap menaikkan status irigasi sekunder GS-9 sampai sekunder Ujungsemi menjadi irigasi induk,” tegasnya.
Kondisi yang sama juga dialami petani di Kecamatan Sumber. Para petani kesulitan memperoleh air untuk musim tanam kemarau. Tak sedikit dari mereka yang beralih menjadi perajin batu bata, demi penghasilan penggantu.
Seperti dilakukan Miskad (65) dan Marpuah (60). Pasangan suami istri (pasutri) yang latar belakang petani itu di musim kemarau beralih profesi mencetak batu bata, dengan memanfaatkan lahan yang tidak produktif untuk tempat produksi, mulai mencetak hingga menjemur.
Menurut Miskad, pihaknya terpaksa menjadi perajin bata, karena lahan sawah yang digarap tidak bisa ditanam sejak musim kemarau. Ia lakukan itu untuk memenuhi kebutuhannya dengan keluarga.
“Ini sudah berjalan satu bulan lebih, kami tidak bisa menanam padi di sawah. Ya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saya sama istri mencetak batu bata,” katanya kepada Suara Cirebon, Sabtu (28/7).
Miskad memproduksi atau mencetak sebanyak 300 sampai 400 bata merah per harinya. Adapun proses produksinya, bata yang sudah dicetak kemudian dijemur dan dibakar.
“Sehari 300 sampai 400 bata yang kami produksi. Bata yang sudah dicetak ini kemudian dijemur dan dibakar selama lima belas hari. Jika sudah berwarna merah baru kita bisa jual ke orang yang membutukan,” ujarnya.
Untuk 1 bata merah dihargai Rp650 hingga Rp800. Hasil penjualan luamayan untuk memenuhi kebutuhan. Apalagi ongkos pembuatan bata lebih murah dibanding bertani. (Islah/Surya)