SA’ADAH SPd (41) adalah sosok perempuan sederhana tapi memiliki keteguhan yang kuat dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Terbaru, yang diperjuangkan Sa’dah adalah masalah kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
Dalam pandangannya, masalah itu harus menjadi perhatian penting pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait. Sebagai pegiat di lembaga Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis.
Menurut Sa’dah, kepeduliannya kepada isu kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan berawal dari keaktifannya di kegiatan sosial dan organisasi. Ia juga sebagai pengajar, sehingga mengetahui beberapa siswa didiknya yang menjadi korban.
“Ada ana didik yang menjadi korban, baik korban trafficking maupum kekerasan seksual. Jadi awalnya ikut organisasi terus jadi volunteer di WCC Balqis,” ujarnya kepada Suara Cirebon, Selasa (30/7).
Untuk melawan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, pihaknya sudah membentuk beberapa komunitas pendamping dalam naungan WCC Mawar Balqis. Komunitas itu tersebar di beberapa desa dan pesantren.
“Kami juga mengajak masyarakat untuk berperan dalam upaya perlindungan perempuan dan anak. Salahsatunya dengan membuat komunitas pendampingan. Hanya saja belum banyak, ada di 2 pesantren dan 5 desa,” lanjut dia.
Dua pesantren itu adalah Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan, Ciwaringin dan Pondok Pesantren Buntet. Sedangkan lima desanya antara lain Jungjang, Arjawinangun, Gegesik Kidul, Jagapura Kulon, dan Prajawinangun Kulon.
Dalam melawan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, Sa’dah mengajak beberapa lembaga atau komunitas lain yang punya kesamaan visi. Mereka antara lain Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan (JCK) dan Forum Pengadaan Layanan (FPL).
Pihaknya akan terus berupaya agar Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh DPR RI yang mempunyai kewenangan.
“Kami di lapangan mengetahui kendala atau kesulitan yang dialami para korban, terutama kekerasan seksual. Selama ini fakta yang ada di lapangan masih banyak para korban yang tidak mau memproses ke jalur hukum dengan beberapa pertimbangan, salahsatunya belum adanya legislasi yang bisa meng-cover kebutuhan para korban. Itu yang sedang kami kawal,” paparnya.
Meskipun UU mengenai kekerasan seksual sudah ada, namun ada kekosongan hukum di dalamnya. Seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Perlindungan Anak, dan UU PTPPO atau perdagangan orang.
Misalnya terjadi kekerasan seksual yang faktanya ada di masyarakat, tetapi di dalam hukumnya tidak bunyi. Sehingga pelakunya akan lepas dari jeratan hukum.
“Kalau di RUU PKS ini mencakup tidak hanya pidananya, tapi juga upaya-upaya pencegahan itu diwajibkan di RUU ini kepada semua elemen. Jadi semua elemen dilibatkan untuk upaya-upaya PKS. Kemudian titik beratnya kepada pemulihan korban. Kalau selama ini UU yang sudah ada baru menitikberatkan kepada pelakunya,” sambungnya. (M Surya)