Karena mempunyai pangsa pasar tersendiri, produksi rumahan ini malah tetap bisa bertahan. Persaingan produk atap berbabagi bahan material modern ternyata tak menyurutkan para pengrajin gribig di Desa Warujaya, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon bersaing memperebutkan pangsa pasar hasil kerajinan tangan mereka.
Seorang pengrajin anyaman bambu, warga Blok Cibogo RT 003 RW 004 desa setempat, Madkasan (55), mengatakan, jika dibandingkan dengan merk-merk plafon rumah pabrikan, gribig mempunyai kualitas dan kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh merk pabrikan.
Selain ruangan rumah tidak panas karena udara bisa mengalir dari sela-sela anyaman, atap rumah dengan menggunakan gribig alias anyaman bambu khususnya kulit bambu, juga tahan lama.
“Motifnya juga banyak, ada batik mantalan, ombak banyu, blarak sengkle dan mataharian. Kalau yang aten-aten namanya liris polos,” kata Madkasan.
Masyarakat yang sudah tahu kualitas gribig untuk atap rumah dan berniat membeli, kata Madkasan, maka akan datang langsung kerumahnya.
“Enggak pernah gribig di sini sampai menumpuk atau sampai menghitam karena enggak laku-laku tuh. Malah kebanyakan (pembeli) harus menunggu, pesan dulu sebelumnya,” tuturnya.
Kepada Suara Cirebon Madkasan mengaku menggeluti kerajinan tangan tersebut sejak masih remaja. Ilmu menganyam kulit bambu ia dapatkan secara turun temurun dari kakek dan neneknya dulu.
“Sejak saya kecil, turun temurun sampai sekarang,” kata Madkasan.
Menurut Madkasan, selain datang dari wilayah Ciayumajakuning, pembeli gribig juga datang dari luar Ciayumajakuning seperti Surabaya dan Madura.
Bahkan, pasar gribig juga sudah menembus ke luar negeri, sepeti Arab Saudi dan Inggris. “Kalau pembeli dari luar negeri yang datang kesini itu dari arab dan orang yang kulinya putih,” ujar Madkasan.
Bersama 6 orang pekerjanya, setiap tiga sampai empat hari Madkasan mampu memproduksi gribig satu gulung dengan ukuran lebar 3 meter dan panjang 15 meter.
Untuk gribig polos atau yang biasa disebut aten-aten, ia jual dengan harga Rp 20 ribu per meter persegi. Sedangkan gribig kulit bambu, dijual dengan harga Rp 35 ribu per meter persegi. Sedangkan bahan baku bambunya ia dapatkan dari Majalengka dan Kuningan.
Pengrajin gribig lainnya, Khodijah (43), mengatakan, bahan baku berupa kulit bambu itu dipasok dari Majalengka dan Kuningan. Namun, saat tidak ada pasokan, sesekali ia menggunakan bambu dari rumpun yang berada tidak jauh dari rumahnya. (Islah)