MALANG, SC- Guru besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof Adang Djumhur selalu aktif mendorong lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas lulusan dan inovasi pengembangan kelembagaannya. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk implementasi tri dharma perguruan tinggi.
Seperti salahsatunya dia mengajak pengurus Pondok Pesantren Al-Islah untuk melakukan studi banding ke Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS) di Malang, Jawa Timur, Minggu (17/11/2019).
Menurutnya, pemilihan Tazkia untuk dilakukan studi banding dikarenakan lembaga pendidikan ini dinilai layak menjadi lembaga pendidikan Islam alternatif, khususnya bagi generasi muda milenial. Karena, kata dia, Tazkia bisa menutupi dan melengkapi kekurangan yang ada pada lembaga pendidikan modern lainnya.
“Tazkia menawarkan keunggulan bahasa (Inggris dan Arab), enterpreneurship, dan penguasaan IT (informasi teknologi), yang jadi kebutuhan masa depan generasi milenial. Walaupun sekolah (tingkat SMP dan SMA) di Tazkia tidak murah, biaya masuknya Rp38.000.000, biaya bulanan Rp2.650.000, dan biaya pendaftaran Rp650.000,” kata Prof Adang.
Walaupun dengan biaya yang terbilang cukup besar tersebut, dia menjelaskan, minat untuk menempuh pendidikan di Tazkia sangat tinggi. Bahkan, mereka rela harus inden untuk tiga tahun ke depan agar bisa menuntut ilmu di lembaga pendidikan ini. Selain itu, di Tazkia juga tersedia jatah 10% bagi siswa tidak mampu dan anak yatim yang berprestasi.
“Untuk tahun 2020, kelas 3 SD dan kelas 8 yang bisa diterima. Sedangkan kelas 4 dan 5 SD juga kelas 9 dan 10 sudah ditutup, karena sudah full booking. Keadaan siswa saat ini, berjumlah 400 putri dan 400 putra, tetapi lebih dari 1.500 calon siswa yang sudah inden, nunggu antrian,” jelasnya.
Untuk itu, dia mengungkapkan, dari hasil study banding ini pihaknya dapat banyak memetik pelajaran. Seperti, pengelolaan pendidikan Islam, harus memiliki visi yang berorientasi memenuhi kebutuhan masa depan dan tentu saja harus dikelola secara profesional.
“Dalam konteks IAIN Cirebon, yang telah memiliki fakultas tarbiyah sejak tahun 1965, dan telah melahirkan lulusan puluhan ribu yang sebagian besarnya berprofesi sebagai guru dan pengelola lembaga pendidikan. Sudah waktunya memiliki sekolah model, yang dapat dijadikan sebagai laboratorium mahasiswa dan alumninya untuk mengaktualisasikan ilmunya di sekolah model tersebut. Sebenarnya, usulan itu sudah terlambat untuk diwujudkan, tetapi ada kaidah, bahwa lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,” pungkas Prof Adang. (Arif/Ril)