Sumanta menjelaskan, dalam kegiatan yang bertema “Tantangan dan Peluang Pendidikan Pesantren dan Urgensinya dalam UU Pesantren No.18 Tahun 2019” ini, pihaknya membawakan materi terkait meneguhkan Bu Nyai dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di Jawa Barat. Pasalnya, kata dia, dua hal itulah yang menjadi fokus kajian dalam acara tersebut.
“Keadilan tentu saja dalam makna yang luas. Seperti keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan pendidikan, dan seterusnya yang itu menjadi perhatian atau consern dari Bu Nyai. Sehingga bagaimana di Jawa Barat ini tercipta keadilan dari bidang itu. Tentu saja hal ini dalam peran yang dimainkan oleh Bu Nyai yang terdiri dari istri-istri kyai pengasuh pesantren yang berkecimpung dalam bidang pendidikan,” kata Sumanta.
Kemudian, lanjut dia, yang kedua adalah perdamaian. Menurut Sumanta, kegiatan ini juga menjadi salahsatu langkah yang dilakukan Bu Nyai untuk melakukan rekonsiliasi pasca pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif yang baru dilaksanakan beberapa bulan lalu. Pasalnya, akibat pesta demokrasi tersebut banyak menimbulkan gesekan di masyarakat sehingga perdamaian agak terganggu. Untuk itu, kegiatan ini adalah salahsatu upaya untuk mengharmoniskan kembali hubungan silaturahim sosial di masysrakat.
“Jadi di sini Bu Nyai dapat memainkan peran untuk memberikan kontribusi dalam hal keadilan dan perdamaian tersebut,” ujarnya.
Selain itu, Sumanta mengungkapkan, di era industri 4.0 ini pesantren harus memberikan terobosan yang dapat menarik kaum milenial namun tidak meninggalkan nilai-nilai dasarnya. Karena saat ini dunia telah berubah, sehingga pesantren tidak bisa stagnan dan harus bisa merespons perubahan tersebut.
“Jadi ada dua hal yang saya lihat di pesantren ini. Pada satu sisi pendidikan pesantren harus meneguhkan dan mempertahankan nilai-nilai dasar. Seperti kemandirian, keikhlasan, kebersamaan, tawadu dan seterusnya. Itu adalah nilai dasar yang harus dipertahankan oleh pesantren. Di sisi lain zaman mengalami perubahan, sehingga pesantren tidak bisa stagnan dan harus direspon,” paparnya.
Untuk itu, era 4.0 ini harus direspon oleh para santri dan kalangan pesantren dengan menciptakan terobosan yang bisa mewarnai dan menjawab tantangan tersebut. Hal ini tentu saja dapat dilakukan dengan berbagai upaya, kinerja, dan inovasi dalam bidang pendidikan, strategi, dan pembelajaran kepada para santri.
Kemudian, Sumanta menambahkan, terkait manajemen pesantren. Hal itu salahsatunya dapat dilihat dari sistem pendaftaran di pesantren yang sudah menggunakan sistem online. Itu artinya pesantren bisa merespons dan bisa mengikuti perkembangan zaman.
“Jadi dua hal itu yang saya lihat sebagai pilar pesantren untuk bisa meneguhkan kembali nilai-nilai pesantren, sehingga tidak mengalami distruksi. Selain itu, pesantren juga harus bisa membedakan kurikulum. Yaitu mana kurikulum yang harus mengalami pembaharuan atau melajukan inovasi dan mana kurikulum yang harus dipertahankan untuk menjaga nilai-nilai dasar tadi,” pungkasnya. (Arif)