“Sikap BPJS Kesehatan yang tetap bersikukuh menagih kenaikan iuran pada peserta kelas 3 mandiri menunjukan tidak adanya political will untuk berpihak pada rakyat. Pemerintah seakan mati nurani dan hati kecilnya dalam melihat kesengsaraan rakyat,” ujar Dr Netty Prasetiyani MSi sesaat setelah rapat internal Komisi IX, Selasa (21/1).
BACA JUGA: Desa Tanggung BPJS, No Problem!
Menurutnya, dalam RDP Komisi IX dengan Kemenkes RI, BPJS dan DJSN, pada Senin (20/1), sebagian besar anggota komisi IX sudah menyatakan keberatan dengan sikap BPJS, bahkan jika belum ada solusi, komisi IX minta agar rapat tidak perlu dilanjutkan.
“Wajarlah kalau kami semua marah dan kecewa dengan sikap BPJS. Masa sih pemerintah tidak mampu menolong rakyatnya mendapat layanan kesehatan, sementara uang rakyat digunakan ratusan trilyun untuk membayar hutang dan bunganya. Ini kan bukti managemen keuangan negara yang buruk,” tandas Netty.
Anggota Komisi IX dari Dapil Jabar 8 (Kota/Kabupaten Cirebon dan Indramayu) ini makin geram ketika membaca di media bahwa jika BPJS Kesehatan tetap menjalankan hasil rapat dengan DPR, maka direksi melanggar Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Lha kan yang dipersoalkan oleh DPR hanya kenaikan kelas 3 PBPU dan BP. Sebab mereka memang tidak mampu. Bahkan banyak temuan di lapangan yang seharusnya mereka malah masuk kategori PBI. Masalah data kan juga masih belum dibereskan oleh BPJS dan Kemensos. Jadi dimana melanggar aturannnya,” tanya Netty.
BACA JUGA: Gerindra Dorong Revisi UU BPJS
Lagi pula, kata Netty, alternatif solusi masalah kenaikan iuran untuk kelas 3 mandiri itu adalah usulan dari Kemenkes, bukan DPR. “Kemenkes menawarkan opsi artinya sudah ada koordinasi dengan BPJS, DJSN dan Kemenkeu. Kenapa BPJS tidak bisa mengikuti saran tersebut. Bukankan dalam kesimpulan rapat 12 Desember BPJS bahkan menjamin melaksanakannya pada 1 Januari 2020? Bagaimana pola koordinasi di pemerintahan. Saya melihat di internal pemerintah tidak sinkron dalam memberikan jawaban. Kondisi ini menunjukkan adanya gejala patologis yang akut dalam managemen pemerintahan,” lanjut Netty.
Menurut Netty, di tiga lembaga ini ada banyak tenaga ahli hukum yang memahami apakah solusi-solusi itu selaras dengan ketentuan. “Kenapa diusulkan dan disepakati secara internal oleh pemerintah? Atau jangan-jangan ada unsur kesengajaan pemerintah untuk berlepas tanggung jawab terhadap kesulitan rakyat?” tandas Netty.
Bahkan setelah membaca UU No 24 Tahun 2011, Netty tidak menemukan celah pelanggaran apabila BPJS melaksanakan amanat dari hasil rapat bersama DPR. “Alasan yang digunakan oleh BPJS Kesehatan jelas tak berdasar. Tidak ada aturan yang dilanggar baik yang berakibat sanksi administratif maupun pidana. Karena tak ada benturan kepentingan dan tidak ada pula subsidi silang antar program,” sambungnya.
BACA JUGA: Total Tunggakan Jadi Rp3,6 M
Melihat keresahan dan gejolak di masyarakat, Komisi IX DPR RI akan memanggil kembali Menteri Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk membahas lanjutan persoalan BPJS Kesehatan. “Harus sudah siap dengan solusi. Kalau Menkes dan BPJS masih belum punya solusi, untuk apa diadakan rapat,” tutup Netty. (Arif/Ril)