KHAWATIR terhadap penumpukan fly ash and bottom ash (FABA) yang merupakan limbah dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berpotensi menjadi resiko bencana jika tidak segera termanfaatkan, BPPT siapkan teknologi pemanfaatan FABA agar dapat diubah menjadi barang bernilai ekonomi tinggi.
Disampaikan Kepala BPPT Hammam Riza dalam rapat virtual pembahasan pengelolaan FABA Bersama PLN, belum lama ini, dirinya memaparkan potensi timbunan FABA di Indonesia sangat tinggi, yang jika dibiarkan akan berbahaya padahal memiliki potensi ekonomi apabila dimanfaatkan dengan baik.
“Saat ini jika dihitung, timbunan FABA cukup tinggi mencapai 5 juta ton lebih per tahunnya. Jika dibiarkan dapat beresiko tinggi terjadi bencana seperti yang pernah terjadi di Amerika, dimana tanggul penampung FABA rusak sehingga FABA tumpah ke sungai yang berujung pada bencana banjir akibat terjadi pendangkalan sungai. Padahal, dari sisi sustainability consumption and production, FABA ini mempunyai potensi circular economy yang bagus”, pungkasnya, seperti dilansir situs resmi Kemenristek/BRIN.
Lebih lanjut ia mengatakan saat ini teknologi pemanfaatan FABA sudah dikembangkan di BPPT dan siap untuk diterapkan, namun terkendala oleh status FABA sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Untuk itu pihaknya mengusulkan perlu segera dibuatkan satuan tugas tim ahli yang terdiri dari lembaga litbang, perguruan tinggi dan instansi terkait untuk menyelesaikan kajian guna mendelisting atau menghapus status FABA sebagai limbah B3.
Sebagai informasi, berdasarkan PP 101 tahun 2014 FABA masuk kategori limbah B3 sehingga dalam penanganannya menjadi sulit dan membutuhkan biaya hingga menembus angka triliun. Padahal, berdasarkan TCLP dan LD50 atau parameter yang mengukur suatu bahan masuk B3 atau bukan, FABA terbukti memenuhi syarat sebagai limbah yang tidak tergolong B3.
BACA JUGA: Polres Majalengka Antisipasi Karhutla Kawasan Ciremai
Sementara itu, di negara lain seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia atau Jepang tidak mengkategorikan FABA sebagai limbah B3, padahal negara tersebut memiliki standar dan regulasi lingkungan yang lebih ketat, sehingga pemanfaatan dan pengolahannya dapat menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi dan tidak memerlukan biaya perawatan atau penumpukan yang dapat memakan biaya triliunan per tahun. (Dins)