CIREBON, SC- Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mendapat tanggapan dari sejumlah akademisi IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Mereka menuding, ada kejanggalan dalam RUU tersebut, terutama pada pasa-pasal yang dianggap karet dan tidak pro terhadap pemenuhan hak pegawai.
Hal itu mencuat dalam Seminar Online bertema RUU Cipta Kerja, Antara Kesejahteraan Buruh, Penguatan UMKM dan Ekonomi Umat, Selasa (29/9) melalui kanal Zoom. Seminar yang dipandu Wakil Dekan FUAD, Dr Arief Rachman MSi itu pun diikuti peserta mulai dari dosen, mahasiswa, aktivis sosial hingga pelaku UMKM. Sedangkan Dekan FSEI, Dr H Aan Jaelani MAg dan Sekretaris LPPM, Dr H Ayus A Yusuf MSi didapuk sebagai pemateri.
Arief menjelaskan, muncul kekhawatiran di kalangan akademisi terkait sejumlah isi RUU Cipta Kerja yang dinilai bakal merugikan salah satu pihak. Dalam konteks ini ialah buruh atau pegawai. Menurutnya, beberapa pasal dalam RUU ini berpotensi memangkas hak-hak buruh. Misalnya tidak ada pemberian pesangon bagi buruh yang diputushubungan kerja.
Padahal dalam konteks kekinian di masa pandemi, perlu adanya stimulus guna mendukung pemulihan ekonomi nasional (PEN). Salah satunya upaya-upaya penyejahteraan buruh, pelaku UMKM dan masyarakat dengan pendapat rendah.
“Pada prinsipnya hasil webinar tadi dari segi ekonomi ada kecenderungan dalam RUU itu ada aturan yang tidak memberi pesangon bagi buruh yang diputushubungan kerjanya. Ini jelas tidak sesuai dengan pasal dulu dan norma yang ada di Indonesia. Karena buruh itu sudah berkontribusi kepada perusahaan,” jelas Arief terkait salah satu isi RUU Cipta Kerja.
Arief juga menyoroti RUU Cipta Kerja dari sudut pandang keadilan gender. Yakni tidak diberikannya cuti kerja bagi pagawai wanita yang sedang haid. Menurut Arief, aturan itu tidak sejalan dengan norma dan kearifan lokal yang ada di nusantara. Pasalnya, sesuatu yang bersifat kodrati seharus mendapat penghormatan meski dalam kaca mata regulasi.
“Kami beri masukan. Kami menghitung kembali beberapa pasal yang seyogyanya disesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya ada pasal yang tidak memberikan cuti bagi wanita yang sedang haid, ini mungkin budaya di luar. Di Indonesia kita berikan hak terkait cuti yang dialami kaum wanita,” kata dia.
Arief melanjutkan, masih banyak lagi pasal dalam RUU tersebut yang perlu disesuaikan. Pihaknya pun meminta DPR RI mengkaji ulang sebelum RUU ini disahkan pada pekan kedua Okotober 2020.
“Pada dasarkan kita ingin share terkait RUU itu. Kita coba beri gambaran menyeluruh terkait isi RUU itu yang selama ini dipandang sebagai pasal kontroversial dan sangat merugikan satu pihak,” kata Arief.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Aan Jaelani fokus pada pro dan kontra RUU Cipta Kerja. Menurut Aan, dasar dibentuknya RUU Cipta Kerja salah satunya sebagai strategi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan reformasi regulasi perizinan usaha.
Sehingga pemerintah dan DPR RI mencetuskan ‘RUU Sapu Jagat’ ini sebagai solusi praktis. Meski demikian hadirnya RUU Cipta Kerja ini harus benar-benar dikaji minimal dari sudut pandang ekonomi dan politik nasional. Apalagai RUU Cipta Kerja bakal melibas pasal-pasal UU lain yang sudah ada.
“Kenapa Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) ini dihadirkan? Ini untuk menghadirkan profil UU yang berkualitas. Isinya adalah integerasi dan kodifikasi. Jadi Omnibus Law itu bentuk intergasi dari banyak UU yang tersebar dari 31 Kementerian,” kata dia.
Sementara itu, Ayus A Yusuf menjelaskan, relevansi RUU Cipta Kerja dari sudut pandang ekonomi makro. Menurutnya, di tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan sebaik tahun-tahun sebelumnya. Imbas Covid-19 yang melanda dunia.
Pada triwulan pertama 2020, kata Ayus, ekonomi Indonesia bahkan minus di angka 5,3 persen. Dia khawatir, jika tidak segera dimatangkan, RUU Cipta Kerja justru memperburuk ekonomi nasional.
“Kalau dari menggunakan indikator makro ekonomi kita khawatir dengan adanya wabah Covid-19 ini ternyata diujung 2020 kemungkinan minus lagi,” tukas Ayus. (Arif)