KABUPATEN CIREBON, SC- Aliansi Rakyat Cirebon Menggugat (ARCM) menyatakan, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) di Kabupaten Cirebon, masih menuai banyak persoalan. Sebab, sampai dengan saat ini kawasan lahan pertanian yang ada hari demi hari semakin berkurang.
Juru bicara ARCM, Khareudin, mengatakan, hal tersebut merupakan masalah serius yang harus sangat dikritisi. Dengan adanya rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang akan menerapkan Kawasan Segitiga Rebana di wilayah timur Jabar yang salah satunya adalah Kabupaten Cirebon, jelas hal itu akan menjadi ancaman terhadap keberadaan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
“Ketika lahan pertanian semakin berkurang, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis pangan di wilayah Kabupaten Cirebon,” kata Khaerudin, Senin (22/2/2021).
Apalagi, lanjut dia, fenomena di Kabupaten Cirebon sangat marak lahan pertanian diperjualbelikan untuk dijadikan lahan kavling pemukiman. Maka dari itu, ia menyatakan, organisasi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Cirebon Menggugat (ARCM), yang terdiri dari DPP Ampar, DPC Projo Kabupaten Cirebon dan DPC Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Cirebon akan terus konsisten mengawal agar lahan pertanian pangan berkelanjutan yang saat ini belum jelas.
“Titik serta keberadaannya, yang katanya sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon seluas 40 ribu hektare hingga kini belum jelas dimana saja,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga menyayangkan, maraknya pengavlingan lahan pertanian produktif di Kabupaten Cirebon. Padahal, menurut dia, sudah sangat jelas kegiatan usaha tersebut ilegal. Namun, kata dia, Pemkab Cirebon cenderung kurang tegas untuk menyelesaikan persoalan itu.
“Akan tetapi, saat ini para pengusaha kavling pemukiman mulai menyiasati kegiatan usahanya dengan menempuh perizinan untuk pengembangan kawasan perumahan, dengan menggunakan lahan yang sudah dijualbelikan untuk kavling pemukiman contohnya di wilayah Kecamatan Jamblang,” ungkapnya.
Padahal, sambung dia, lahan tersebut sangat produktif untuk pertanian, karena bisa panen padi sampai 3 kali dalam satu tahun.
“Maka dari itu kami mengecam kegiatan tersebut, apalagi ketika dikonfirmasi kepada Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon lahan yang akan dijadikan lokasi kawasan perumahan tersebut memang benar peruntukannya untuk kawasan permukiman sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038,” katanya.
Pihaknya mempertanyakan hasil kajian dari penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038. Karena, kata dia, jelas dalam penyusunan sebuah peraturan daerah harus mempertimbangkan serta memperhatikan kajian.
“Tidak hanya dari sudut pandang yuridis tetapi juga sudut pandang sosiologis dan filosofis. Dan kami menduga dalam penyusunan Perda RTRW tersebut kurang memperhatikan kajian secara sosiologis dan filosofis, karena jelas di wilayah yang akan dijadikan kawasan perumahan tersebut merupakan lahan pertanian pangan yang sangat produktif,” tandasnya.
BACA JUGA: Dewan Minta Pemkab Serius Tangani Sektor Pertanian
Saat ini, lanjut dia, ARCM tengah mengumpulkan data serta fakta sebagai dasar untuk menggugat agar Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2018-2038 dibatalkan. Pasalnya, Perda RTWR tersebut, diduga terlalu banyak menguntungkan para kapitalis dibandingkan menguntungkan para petani.
“Selain itu pula dalam penetapannya pun diduga terlalu tergesa-gesa karena ditandatangani oleh Plt Bupati, padahal Plt Bupati tidak bisa melakukan penetapan sebuah Perda yang bersifat strategis,” pungkasnya. (Joni)