CIREBON, SC- Walau belum berstatus Universitas Islam Negeri (UIN), namun Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon telah memiliki ma’had al-jami’ah.
Bahkan, jika melihat sejarah, berdirinya ma’had al-jami’ah di kampus keagamaan negeri Islam satu-satunya di wilayah III Cirebon ini ternyata sejak kampus ini masih berstatus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cirebon, yaitu tepatnya pada tahun 2007 dan 2008. Gedung mahad tersebut didapat dari program Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) RI dua tahun berturut-turut.
Menariknya, salah satu program unggulan di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini yaitu menerapkan pembelajaran secara online yang bernama santri virtual. Proses pembelajarannya melalui rekaman, video call, zoom meeting, dan lainnya, termasuk ujian dengan memanfaatkan tekonologi komunikasi yang terus berkembang.
Direktur Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, H Amir MAg menjelaskan, dalam pelaksanaan program tersebut, ma’had al-jami’ah kampus ini telah dilengkapi berbagai fasilitas, baik jaringan internet dan tenaga pengajar yang memadai serta sejumlah fasilitas lainnya.
“Kalau fasilitas kita sudah dilengkapi dengan wifi yang memadai. Namun memang kita agak sedikit terkendala dengan jumlah komputer yang masih terbatas. Untuk itu, kita berharap ada peningkatan jumlah perangkat computer demi mengoptimalkan pembelajaran santri virtual tersebut,” paparnya kepada Suara Cirebon, Selasa (9/3/2021).
Dia memaparkan, pembelajaran yang dilaksanakan di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini tidak hanya melalui virtual, tapi juga ada yang pembelajarannya secara tatap muka langsung di mahad maupun di pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Cirebon. Hal itu mengingat kapasitas gedung Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon terbatas, hanya mampu menampung sekitar 20 persen saja dari jumlah mahasiswa baru.
Untuk itu, kata Amir, pihaknya pun menjalin kemitraan dengan pondok-pondok pesantren untuk mengakomodir mahasiswa yang tidak tertampung di gedung Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dengan cara seperti itu, lanjut dia, selain dapat mengakomodir seluruh mahasiswa untuk mendapat pendidikan agama secara maksimal, juga dapat meningkatkan jumlah santri di pesantren-pesantren di wilayah Cirebon.
“Walaupun mereka mendapatkan pendidikan di pesantren yang berada di luar kampus, namun persyaratan dan standar kelulusan, yaitu baik dari nilai minimum dan syarat-syarat lainnya itu harus sesuai dengan standar yang ada di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon,” paparnya.
Karena, ungkap Amir, pihaknya ingin menciptakan mahasiswa lulusan IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang spesial, yaitu tidak hanya matang secara keilmuan atau keagamaan saja, tetapi juga gabungan dari keduanya sehingga dapat menciptakan muslim yang spesial.
“Keilmuan yang ada di ma’had (IAIN Syekh Nurjati Cirebon) pun memang diciptakan untuk menciptakan alumni yang profesional di bidangnya masing-masing dengan mengintegrasikan keilmuan mereka sesuai jurusannya masing-masing,” tutur Amir.
Saat ini, terang dia, kegiatan pembelajaran di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon dilaksanakan selama dua semester. Namun dia menginginkan pembelajaran di mahad tersebut dapat dilaksanakan selama mahasiswa tersebut tercatat sebagai mahasiswa di kampus ini.
“Jadi metodenya begini, kalau untuk semester satu sampai dua itu namanya intensif. Namun untuk semester tiga sampai lulus itu namanya pengayaan. Kalau semester satu sampai semester dua itu wajib, tapi kalau semester tiga sampai lulus itu sifatnya pilihan,” terangnya.
Dengan berbagai program yang telah dicanangkan demi peningkatan kualitas lulusan IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang spesial tersebut, Amir mengaku masih mengalami sejumlah kendala, seperti anggaran, infrastruktur, dan tenaga pengajar di mahad.
“Kalau anggaran untuk mahasiswa semester satu sampai semester dua sudah dianggarkan, tapi kalau semester 3 sampai lulus itu belum. Kapasitas gedung juga memang belum bisa menampung seluruh mahasiswa baru. Kemudian kondisi gedung sudah mengalami sejumlah kerusakan, terutama di bagian atas, kalau hujan bocor, dan kalau panas kepanasan. Sumber air yang ada di gedung kita juga belum maksimal yang sering menyulitkan mahasiswa,” jelasnya.
Namun, Inspektur Wilayah II Kementerian Agama RI, Dr H Nur Arifin MPd memaparkan, memang ada sejumlah kampus yang membawa konsep integrasi keilmuan ini dengan membangun mahad di dalam kampus. Tetapi ada juga kampus-kampus yang merasa kesulitan dalam menerapkan konsep tersebut. Akhirnya, mereka menempatkan mahasiswanya di pesantren-pesantren yang berada di luar kampus.
BACA JUGA: Senat IAIN Cirebon Kukuhkan Guru Besar Ilmu Hukum, Tugas Berat Menanti Prof Sugianto
“Tapi ini juga belum ada desain yang pasti, mau dibawa kemana nih nasib integrasi keilmuan. Nah saya berharap, calon UIN Cirebon ini bisa mengawali. Untuk mengawalinya ada 6 core value yang harus diwujudkan UIN, yaitu intelektual, intelegensi, keterbukaan, kekinian, ke-Indonesiaan, dan kesalehan. UIN harus mewujudkan 6 core velue tersebut, di antaranya melalui ma’had,” pungkasnya. (Arif)