CIREBON, SC- Puluhan buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya menggelar aksi unjuk rasa menolak pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dengan cara dicicil. Demonstrasi FSPMI itu dilakukan secara maraton di depan kantor Wali Kota Cirebon dan kantor Bupati Cirebon, Senin (12/4/2021).
Wakil Presiden DPP FSPMI, Asep Fedi Hartono mengatakan, aksi penolakan pembayaran THR dengan cara dicicil itu dilakukan serentak se-Indonesia. Menurutnya, di Jakarta, aksi serupa digelar di depan Mahkamah Konstitusi.
“Kita minta THR tidak dicicil. Harus dibayar penuh oleh perusahaan,” kata Asep Fedi Hartono, usai berorasi di depan Balai Kota Cirebon.
Menurutnya, setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri, setiap perusahaan wajib memberikan THR kepada pekerja/buruh. Ketika perusahaan mengalami kesulitan, lanjut Asep, pengawas ketenagakerjaan harus turun tangan dalam mengatasi hal tersebut.
“Memang ada beberapa perusahaan yang kesulitan untuk membayar THR, tapi itu tugas pengawas. Harus dilihat kemampuan perusahan itu untuk membayar THR,” kata Asep.
Selain masalah THR, massa aksi juga menuntut agar Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law dicabut. Asep bahkan meminta agar Wali Kota Cirebon merekomendasikan upah minimum sektoral.
“Aksi ini dilakukan di 200 kota dan kabupaten, kemudian 20 provinsi. Kita tahu hari ini (kemarin, red) ada sidang MK tentang UU Omnibus Law. Kami minta agar Omnibus Law dicabut,” kata Asep.
BACA JUGA: Dewan Didesak Minta Maaf
Asep menegaskan, aksi unjuk rasa yang dilakukan para buruh metal itu tetap memperhatikan protokol kesehatan.
“Unjuk rasa ini tidak lama. Kita tetap memperhatikan protokol kesehatan. Turut mendukung mencegah penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Sementara itu, saat berunjuk rasa di depan kantor Bupati Cirebon, Sekretaris FSPMI Cirebon Raya, Mohamad Machbub mengatakan, aksi penolakan dilakukan agar Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah tidak mengeluarkan surat edaran (SE) yang membolehkan THP dibayarkan dengan cara dicicil. Pasalnya, pada tahun 2020 lalu, terbit SE Menaker berdasarkan penyempurnaan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) yang membolehkan dibayar dengan cara dicicil.
“Kami berharap Menteri Ketenagakerjaan tidak mengeluarkan edaran yang memperbolehkan pembayaran THR tahun 2021 kurang dari 100 persen,” kata Machbub.
Menurut Machbub, jika THR dibayar dengan cara dicicil atau tidak 100 persen, maka daya beli buruh makin terpukul di tengah pandemi ini. Terlebih, kata dia, bantuan subsidi upah bagi tenaga kerja sudah diberhentikan oleh pemerintah. Padahal, upaya pemerintah mengeluarkan bantuan subsidi upah itu agar daya beli dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
“Justru kebijakan Menaker ini bertolak belakang dengan tujuan awal adanya subsidi upah. Akibatnya konsumsi juga akan semakin menurun, ditambah lagi dengan kenaikan harga barang, BBM, kebutuhan pokok jelang puasa dan Lebaran,” terang Machbub.
Ia menyebut, landasan penolakan yang dilakukan pihaknya cukup jelas. Karena data dari BPS tercatat pertumbuhan ekonomi sepanjang beberapa kuartal berangsur membaik meskipun berada di zona minus.
BACA JUGA: Operasi Keselamatan Lodaya 2021 Dimulai
Sedikitnya, lanjut Machbub, terdapat kurang lebih ada tiga sektor yang menyumbang serapan tenaga kerja terbanyak, yakni industri pengolahan, pertanian dan perdagangan. Bahkan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan juga tetap tumbuh positif sepanjang 2020 dengan rata-rata pertumbuhan 2 persen. Dengan kata lain, para pekerja sudah mulai bekerja seperti saat sebelum pandemi. Hanya saja saat ini mereka bekerja dengan menerapkan protokol kesehatan terkait pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, tambah Machbub, harus ada keseimbangan dan rasa keadilan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Karena pengusaha sudah dapat stimulus ekonomi dan keringanan pajak dari pemerintah.
“Maka secara bersamaan THR dan upah buruh harus dibayar penuh, tidak dicicil agar konsumsi makin meningkat sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Jika permintaan ini tidak digubris Menaker, KSPI, FSPMI dan buruh Indonesia mempertimbangkan untuk melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnkertran) Kabupaten Cirebon, Erry Ahmad Husaeri, mengaku siap mendengar keluhan serikat pekerja tersebut dan meningkatkan komunikasi antara buruh, serikat pekerja dan Disnakertran.
“Tentu kita akan komunikasikan melalui aperindo supaya terjadi kesepakatan itu,” ujar Erry.
Terlebih, dalam surat edaran Menaker salah satu poinnya menyebut perusahaan-perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19 diharapkan bisa memberi THR. Ia meminta pihak perusahaan juga harus memberikan informasi dan keterbukaan kepada Disnakertran agar bisa dipahami kondisinya.
“Dan buruh juga harus sepakat dan memahami, sebab ketika itu tidak dikomunikasikan dan dipaksakan tidak membayar THR, ya itu mah harus ada langkah-langkah ini dari Disnakertran,” paparnya.
Menurutnya, di Kabupaten Cirebon sudah banyak perusahaan yang bisa memberi THR kepada para pekerjanya. Kalaupun ada yang belum memberi THR, kata dia, hanya beberapa perusahaan yang terlewat dari arahan yang dilakukan Disnakertran.
BACA JUGA: Pembangunan TPAS Kubangdeleg Tuai Pro-Kontra
“Ada perusahaan yang tidak sanggup (memberi THR, red) akibat pandemi ini, tapi jumlahnya tidak signifikan,” ungkapnya.
Selain menuntut pemberian THR dibayar 100 persen, aksi unjuk rasa juga mendesak Upah Minimum Sektoral (UMSK) tahun 2021 diberlakukan. Selain itu, FSPMI juga meminta pemerintah mengusut tuntas dugaan korupsi BPJS Ketenagakerjaan dan membatalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law. (Surya/Islah)