Kepala Distan Kabupaten Cirebon, Asep Pamungkas, menyampaikan, para petani milenial tidak harus terpaku pada pertanian bidang holtikultura saja. Tapi petani milenial juga harus bisa terjun di bidang padi-padian dengan tetap mewujudian pertanian yang ramah lingkungan.
Salah satu warga asal Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Rojai, kata Asep, bisa menjadi percontohan petani milenial yang berhasil menerapkan teknologi ramah lingkungan. Menurut Asep, petani milenial tersebut menerapkan penggunaan teknolgi ramah lingkungan berupa pupuk organik dari kotoran sapi yang dikelola menjadi pupuk organik.
“Untuk tanaman padinya pun pakai (pupuk organik, red) itu, tidak pakai pestisida. Pertanian ramah lingkungan itu pertanian yang tidak merusak lingkungan,” ujar Asep.
Hal itu berbeda dengan pupuk unorganik atau pupuk pabrikan, karena sisa yang tidak terserap tanaman akan menjadi racun. Sehingga tanah menjadi keras dan tanah sudah diolah karena tidak gembur lagi. Selain itu, ketika terus menerus menumpuk, PH tanah menjadi asam dan tidak memiliki unsur hara.
“Kalau terlalu lama menggunakan pupuk unorganik, residunya mengakibatkan gabah juga mengandung pestisida, jadi tidak bagus,” kata Asep.
Begitupun ketika memberantas hama wereng, biasanya petani ingin yang instan, yakni satu kali semprot hama wereng langsung mati. Padahal, jika sering menggunakan insektisida dengan dosis tinggi, lama kelamaan hama menjadi kebal. Ketika sudah kebal dan tidak bisa lagi disemprot, akhirnya menggunakan pestisida untuk palawija yang dosisnya lebih tinggi.
“Dan ketika pestisida palawija yang dipakai tadi tidak mempan, akhirnya solar masuk, oli masuk. Ini yang berbahaya, akhirnya merusak lingkungan,” terangnya.