Hal itu dikemukakan, Kuwu Desa Pasuruan, Muja, terkait kondisi terkini petani di desanya, dalam beberapa tahun terakhir.
“Semua berawal dari kelangkaan pupuk bersubsidi yang membuat petani harus mengeluarkan ongkos tanam yang melonjak, ditambah lagi persoalan harga jual gabah hasil panen yang dirasakan kurang memihak para petani, sehingga membuat petani di Desa Pasuruan ini lebih memilih tidak menanam kembali,” kata Muja kepada Suara Cirebon, Senin (22/8/2022).
BACA JUGA: Petani di Cirebon Ciptakan Varietas Padi Unggulan, Hasil Panen di Atas Rata-rata
Menurutnya, dari sekitar 103 hektare lahan pertanian di desanya, ada sekitar 50 persen lahan yang tidak ditanami kembali dan dibiarkan terbengkalai.
“Sekarang ini para petani sudah mulai malas untuk mengolah lahannya, ini dikarenakan biaya operasionalnya sangat tinggi, salah satunya harga pupuk,” ujarnya.
Pada sisi lain, lanjut Muja, di wilayah Kecamatan Pabedilan kini tumbuh industri. Hal itu sedikit banyak membuat warga semakin malas melanjutkan pekerjaan sebagai petani maupun buruh tani. Terlebih lagi, anak-anak petani baik yang masih lajang maupun yang baru berkeluarga lebih memilih kerja di sektor industri.
BACA JUGA: Sistem Zonasi Pembelian Pupuk Repotkan Petani
“Selain itu, keluarga yang baru punya anak mereka menitipkan ke orang tuanya, sehingga orang tua yang biasa menjadi petani maupun buruh tani kini sudah tidak lagi bekerja di sawah karena mengurus cucu mereka, akibatnya buruh tani susah didapat dan kalaupun ada sekarang upahnya menjadi naik,” katanya.
Sejumlah kondisi tersebut, ditambah harga jual hasil panen yang rendah membuat lahan sawah lebih baik dibiarkan terbengkalai.
Padahal, menurut Muja, lahan pertanian di Desa Pasuruan merupakan lahan strategis dikarenakan ada dua sumber pengairan yang tidak ada matinya.
BACA JUGA: Petani Jangan Bergantung pada Pupuk Kimia
“Padahal lahan pertanian di sini pengairannya tidak ada matinya. Pertama ada saluran sekunder dan kedua ada Sungai Cisanggarung yang bisa diambil airnya lewat pompa kapan saja,” ujarnya.
Namun, lagi-lagi, persoalan modal tanam, pupuk, susahnya mencari buruh tani dan harga jual hasil panen terutama padi sangat anjlok, membuat petani malas bertani.
“Imbasnya nilai sewa lahan pertanian di Desa Pasuruan ini menjadi turun drastis. Untuk nilai sewa satu hektare sawah per tahun hanya di kisaran Rp10 juta, padahal desa sebelah bisa mencapai lebih dari Rp30 juta per hektarnya. Akibatnya yang sangat dirasakan kami, nilai sewa lahan bengkok dan titisara harganya turun,” pungkasnya. (Baim)