Di tengah masyarakat pada saat itu muncul silaturahmi dengan bersedekah “kue apem” yang hingga kini menjadi tradisi pada setiap bulan Safar.
Tidak berhenti di situ, muncul pula ikhtiar-ikhtiar yang bertujuan agar terhindar dari bala atau malapetaka. Entah petaka berupa penyakit, datangnya penjajah atau musibah lainnya.
Orang-orang di Cirebon dan sekitarnya pada masa itu punya kecenderungan “matirta” (mandi suci) seperti zaman Purnawarman, hanya saja istilahnya yang berbeda, mereka menyebutnya dengan “ngirab”.
Ngirab dimaksudkan untuk membuat segala kotoran baik lahir maupun batin yang dilakukan pada Rabu terkahir bulan Safar (Rebo Wekasan).
Dengan melakukan Ngirab di Kali Suba, Kampung Dukuh Semar, dekat terminal Harjamukti Kota Cirebon orang yang bersangkutan meyakini bakal terlepas dari noda dan dosa. Bahkan, bisa dijadikan penolak bala (sial). Ada pula sebagian yang meyakini, bagi perempuan yang susah dapat jodoh bisa segera mendapatkan suami. ***