Ternyata penjelasannya tidak sesederhana kalau itu batal atau tidak. Tapi ada syarat-syarat tertentu untuk sampai pada bahwa memeluk dan mencium istri oleh suami itu batal atai tidak dalam menjalankan puasa.
Mencium dan memeluk istri bagi seorang suami, adalah halal, bahkan menjadi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rohaninya, jika tidak sedang menjalankan ibadah puasa.
Namun hal ini menjadi berbeda hukumnya ketika seorang suami tengah menjalankan ibadah puasa seperti puasa wajib Ramadhan.
Ada perbedaaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum bagi suami memeluk dan mencium istrinya pada saat waktu atau jam puasa.
Sejauh ini, pendapat terkuat mengatakan hal itu boleh sebagai rukhsah (keringanan) dari Allah bagi hamba-hambaNya.
Hanya saja, disarankan agar tidak dilakukan oleh orang yang tidak mampu mengekang syahwatnya kerana dikhawatirkan terdorong melakukan jima’.
Ada baiknya simak perkataan Aisyah, istri Rasulullah, dalam pengalamannya semasa hidup bersama Baginda Nabi.
Aisyah berkata :
“Rasulullah pernah mencium (isterinya) dalam keadaan baginda sedang berpuasa dan memeluk (isterinya) dalam keadaan baginda sedang berpuasa. Akan tetapi, baginda adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya di antara kalian.” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah orang yang terpilih dan teruji yang mampu mengendalikan syahwatnya. Karena itu, tidak sampai membatalkan puasanya.
Namun memeluk dan mencium istri menjadi masalah bagi orang yang tidak mampu mengendalikan syahwatnya.
Dikhawatirkan, karena tidak bisa mengendalikan syahwat, bisa terjadi jima’. Sehingga akan membatalkan puasa.
Jima’ adalah tindakan memasukkan hasyafah (kepala zakar) ke dalam qubul (kemaluan) wanita, baik berakhir dengan terjadinya ejakulasi (memancarkan air mani) maupun tidak.
Jima’ di sini meliputi jima’ yang halal dengan isteri maupun jima’ yang haram dengan zina wal ‘iyadzu billah.
Para ulama menyatakan, memasukkan hasyafah ke dubur termasuk dalam cakupan makna jima’.
Ulama berbeda pandangan dalam hal kedudukan puasa bagi orang yang sengaja untuk ejakulasi dengan cara onani, mencium, memeluk atau sejenisnya.
1. Pendapat empat imam mazhab, hal itu haram dan membatalkan puasa.
Pendapat ini dipilih Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim, al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin.
Dalilnya penyamaan dengan jima’ secara qiyas berdasarkan hadits qudsi bahwa Allah telah menyatakan tentang orang yang berpuasa.
“Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya kerana Aku.” (Muttafaq‘alaih)
2. Pendapat Ibnu Hazm, hal itu tidak membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih oleh al-Imam ash-Shan’ani dan al-Albani.
Alasannya tidak ada dalil yang menunjukkan batalnya puasa dengan sebab itu.
Adapun dalil qiyas yang disebutkan tidak boleh diterima karena terdapat perbedaan antara keduanya.
Perbedaannya adalah kerana jima’ tanpa disertai ejakulasi tetap membatalkan puasa. Artinya, illat (sebab) batalnya puasa adalah jima’ itu sendiri, bukan ejakulasi.
Dari dua pendapat tadi, tampaknya, pendapat pertama lebih kuat.
Lalu bagaimana dengan Onani. Definisi onani adalah upaya mengeluarkan air mani dengan cara apa pun (selain jima’), baik menggunakan tangan maupun lainnya.
Menurut pendapat yang rajih (terkuat), ejakulasi dengan onani sendiri membatalkan puasa, sebagaimana telah dibahaskan.
Onani sendiri merupakan penyaluran dari nafsu syahwat. Karena itu, hukumnya batal jika tengah menjalankan ibadah puasa.***