SUARA CIREBON – Diterpa berbagai masalah menyangkut dirinya, pimpinan Pesantren Mahad Al Zaytun, Panji Gumilang tetap bersikap tenang dan tampil menjadi imam dan menyampaikan khutbah sholat Idul Adha.
Pelaksanaan Sholat Ied pada Idul Adha 1444 Hijriah kembali seperti saat Idul Fitri. Ada social distancing, tiap jemaah berjarak satu meter dan tidak ada tirai pembatas jemaah laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan Sholat Ied saat Idul Fitri, pada Idul Adha 1444 H kali ini, Kamis 29 Juni 2023, seluruh jemaah perempuan berada di sisi kiri Panji Gumilang selalu imam sholat.
Usai sholat Ied, Panji Gumilang menyampaikan khutbah Idul Adha. Berbagai hal ia sampaikan dalam pesan khutbahnya.
Nyaris tidak ada yang secara langsung membahas soal permasalahan yang sedang menerpa dirinya. Panji Gumilang memilih menyampaikan kalimat sindiran yang lebih halus.
Hal yang menarik dari khutbah Panji Gumilang, ialah laporan soal Pesan Al Zaytun yang pada Idul Adha tahun 1444 H tahun 2023 ini menyembelih ratusan hewan qurban.
Panji Gumilang kembali terlihat nyeleneh atau beda dengan umumnya. Ialah pada penyebutan satuan untuk jumlah hewan qurban yang disembelih.
Panji Gumilang tidak menyebut satuan “ekor” untuk jumlah hewan qurban yang disembelih, namun menyebut dengan satuan yang tidak baku atau lazim, yakni “kepala”.
Mengawali khutbah Idul Adha, Panji Gumilang menyampaikan kalau Idul Adha 1444 H, kamis 29 juni 2023, Al Zaytun memotong atau menyembelih hewan qurban jenis sapi sebanyak 30 kepala (bukan ekor).
Kemudian untuk kambing, sebanyak lebih dari 30 kepala dan domba sebanyak 205 kepala. Penyebutan satuan kepala ini tidak lazim dalam khasanah bahasa Indonesia baku sebagaimana aturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Bahasa bakunya, menurut KBBI, untuk penyebutan satuan binatang itu dengan kata “ekor”, bukan kata “kepala”.
Namun hal itu tidak berlaku bagi Panji Gumilang. Dalam khutbah Sholat Ied, lelaki bernama asli Toto Abdusalam Rasyidin alias Syekh Panji Gumilang, menyebut satuan jumlah untuk hewan qurban dengan kata “kepala”.
Panji Gumilang tidak menyebutkan soal penggunaan bahasa Indonesia yang tidak lazim untuk menyebut satuan pada hewan qurban, dari seharusnya “ekor” menjadi “kepala”.***