SUARA CIREBON – Jika Anda kebetulan bepergian dari Semarang, melalui tol Trans Jawa ke arah barat menuju Cirebon, Bandung atau Jakarta, sangat disarankan mampir di Rest Area KM 206 B Heritage Banjaratma di Kabupaten Brebes.
Rugi jika tidak menjadikan Rest Area Km 206 B Heritage Banjaratma menjadi tempat istirahat Anda selama menempuh perjalanan lewat tol trans Jawa di sepanjang pantura dari arah semarang menuju Cirebon.
Di rest area Km 206 B Heritage Banjaratma, terdapat gedung tua, sudah setengah puing, bekas peninggalan kolonial Belanda di abad 18, yakni gedung bekas atau eks Pabrik Gula Banjaratma (PG Banjaratma).
Rest area Km 206 B Heritage Banjaratma ini sangat unik karena keberadaan bangunan abad 18 eks PG Banjaratma.
Sambil istrahat, Anda bisa melihat-lihat bangunan tua berusia 300 tahun lebih yang merupakan cagar budaya atau heritage, dan sengaja ditampilkan untuk membuat perjalanan Anda lebh berkesan.
Mampir di KM 206 B Heritage Banjaratma di Brebes sangat disarankan jika Anda ingin menikmati aura kolonial Belanda di abas ketika industrialisasi di Indonesia dimulai di abad 18 melalui investasi pabrik gula.
Hampir setiap sudut dari bangunan cagar budaya eks PG Banjaratma instagramable untuk Anda mengabadikan melalui foto atau selfie.
Berikut pengalaman Suhu Jeremy Huang Wijaya yang berkesempatan mampir khusus ke rest Area KM 206 B Heritage Banjaratma, selain istirahat, juga ingin menghirup atmosfir era kolonial Belanda di abad 18 melalui bangunan eks PG Banjaratma.
“Pulang dari Yogjakarta, saya bersama istri Saya Julia Christiani Utami dan kawannya saya bernama Teddy Sutardi dan Eni.
Kami mampir ke Rest Area Km 206 B Heritage Banjaratma ternyata Bangunan tersebut bekas pabrik gula.
Pada peta Dutch Colonial Maps tahun 1918. PG Banjaratma disebut dengan nama Station Banjaratma Proofstation atau station pengujian.
Tempat khusus melakukan penelitian ilmu terhadap budi daya dan proses produksi gula sehingga memperoleh produksi gula yang optimal.
Proestation diperkenalkan oleh Gerrit Jan Mulder pada tahun 1848 pada pabrik gula di Bogor yang selanjutnya menjadi kebutuhan penting di pabrik gula.
Gerrit Jan Muelder sebagai penasehat pemerintah berpendapat bahwa produsen gula harus menerapkan teknologi yang paling optimal bukan tekhnologi yang paling modern.
Tekhnologi yang paling optimal adalah tekhnologi yang disesuaikan dengan situasi di Jawa.
Tekhnologi di Jawa pada saat itu yang paling optimal yaitu tekhnologi dengan basis bahan bakar air sebagai penggerak mesin uap.
Berdasarkan inovasi tersebut sejak tahun 1885 keberadaan Station Pengujian atau Proefstations memiliki peran besar dalam keberhasilan produksi gula di Jawa.
Pada tahun 1997 merupakan operasional terakhir PG Banjaratma karena kerugian yang terjadi secara terus menerus.
Perkembangan gula dan pabriknya di Jawa, didukung iklim dan tanah yang cocok untuk penanaman tebu.
Di Jawa, saat itu, memiliki daerah yang panas dengan curah hujan yang cukup. Hal itu kemudian menimbulkan maraknya pabrik gula di Jawa.
Kemajuan industri gula masyarakat Tionghoa di Batavia, membuat Belanda tertarik menguasai seluruh produksi gula Tionghoa di Batavia.
Padahal waktu itu, VOC yang meminta orang-orang Tionghoa untuk berkebun, menjadi buruh, dan pengusaha gula di Batavia.
Tragedi pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa oleh Belanda terjadi pada 1740 di Batavia.
Kerusuhan hebat terjadi, sehingga sungai di tempat pembantaian itu menjadi merah oleh darah orang-orang Tionghoa yang dibantai, yang kemudian disebut dengan “Angke” atau kali merah.
Industri gula yang begitu pesat di Batavia pun berakhir tragis, karena “keuntungan” industri gula harus jatuh ke tangan VOC Belanda.
Saat itu pembuatan gula berdasarkan teknologi dari China Tiongkok.
Dua tokoh Tionghoa terkenal kaya karena bisnis gula yaitu Oei Tiong Ham ( 19 November 1866- 6 Juni 1924) dan Mayor Tan Tjien Kie di Luwunggajah Kabupaten Cirebon.
Mayor Tan Tjien Kie meneruskan usaha pabrik gula peninggalan kakeknya yang bernama Tan Kim Lin.
Pada tahun 1827 Tan Kim Lin mendirikan pabrik gula di Luwunggajah Cirebon, kemudian di teruskan oleh Mayor Tan Tjien Kie hingga tahun 1919.
Sepeninggal Mayor Tan Tjien Kie pabrik gulanya bangkrut karena pajak yang terlalu tinggi.
Nama Mayor Tan Tjien Kie, menjadi legenda tersendiri, baik bagi masyarakat Tionghoa, juga masyarakat pribumi terutama di wilayah Cirebon.
Dikenal sebagai orang kaya yang budiman. Usaha pabrik gulanya sukses dan menjadikan dirinya orang terkaya di abad 18.
Penghormatan terhadap Mayor Tan Tjien Kie bisa disaksikan pada saat kematian dan pengarakan jenazah ke liang lahat.
Sepanjang perjalanan di Kota Cirebon, jalanan dipenuhi ribuan orang yang meratapi kepergiannya.
Tidak saja oleh warga Tionghoa, tetapi juga masyarakat pribumi yang mengenal kebaikan orang terkaya perintis pabrik gula di Jawa tersebut.***
Dapatkan update berita setiap hari dari suaracirebon.com dengan bergabung di Grup Telegram “Suara Cirebon Update”. Caranya klik link https://t.me/suaracirebon, kemudian join. Sebelumnya, Anda harus install dan daftar di aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.