SUARA CIREBON – Pengamat Hukum Pidana, Dr H Dudung Indra Ariska, SH MH menilai biang keladi kerumitan kasus kematian Vina dan Eki Cirebon karena sejak awal penanganan tidak berbasis scientific crime investigation.
Padahal, bila sejak awal penyidik menggunakan scientific crime investigation, kasus kematian Vina dan Eki, dengan berbagai ragam spekulasi dan asumsinya, tidak akan sekontroversial hari ini.
“Biang keladi kerumitan kasus kematian Vina dan Eki, sejak awal penanganan tidak berbasis pada scientific crime investigation,” tutur Dudung, Jumat 21 Juni 2024.
Dudung berandai-andai, bila pendekatan scientific crime investigation yang digunakan, kesimpulan apakah penyebab kematian Vina dan Eki karena pembunuhan atau kecelakaan, tidak akan dipersoalkan.
“Penyidik melewatkan banyak peluang emas untuk mengambil kesimpulan penyebab kematian Vina dan Eki karena pembunuhan atau kecelakaan murni,” tutur Dudung.
Seharusnya, kepolisian memanfaatkan keberadaan CCTV di sepanjang area di lokasi atau Tempat Kejadian Perkara (TKP) keberadaan tubuh Vina dan Eki tergeletak di fly over Jalan Raya Kalitanjung-Talun-Sumber di Kepompongan, Taliun, Cirebon.
“Ada banyak titik dimana CCTV berada di sepanjang jalan raya, termasuk di fly over jalan tol di jalan raya tersebut. Seharusnya ini dimanfaatkan pada saat kejadian di tahun 2016 lalu,” tuturnya.
Andaipun CCTV dilewatkan, seharusnya penyidik masih menggunakan peluang emas lain, ialah hasil visum dokter di Rumah Sakit Gunung Jati Kota Cirebon, serta keberadaan sperma di kemaluan Vina.
“Meski CCTV terlewat, penyidik bisa memanfaatkan hasil visum dokter. Juga dengan keberadaan sperma di tubuh Vina. Bisa dilakukan tes DNA untuk memeriksa sperma milik siapa. Ini sangat penting,” tutur Dudung.
Jika CCTV, sperma dan hasil visum masih juga diabaikan, penyidik juga bisa menelusuri jejak pelaku pada barang bukti seperti sidik jari, percikan darah dan jejak-jejak lainnya di tubuh korban, TKP maupun barang bukti.
“Ternyata, ini semua tidak dilakukan. Penyidik bertindak hanya pada asumsi, lalu mengejar pengakuan dan keterangan saksi yang juga tidak kembali diuji keabsyahan dan logikanya,” tutur Dudung.
Hal-hal diatas yeng mambuat kasus kematian Vina dan Eki lebih marak dengan spekulasi liar. Spekulasi liar ini terus bermunculan di ranah publik.
“Ini semua karena di awal penanganan, scientific crime invertigation dikesampingkan. Akhirnya yang muncul spekulasi pada tataran legal opinion, penuh spekulasi dan hipotesa yang tidak berdasar,” tutur Dudung.
Dilihat dari perspektif, asumsi dan hipotesa hukum, kasus kematian Vina dan Eki merupakan potret penegakan hukum yang sarat dengan rekayasa dan penuh misteri.
Makin rumit karena legal opinion yang dibangun oleh para praktisi hukum seperti lawyer, aparat penegak hukum sampai bahkan politisi tidak lebih dari reaksi atas sensasi yang ditafsir berdasar fiksi film “Vina Sebelum 7 Hari” yang alur ceritanya sama sekali tidak didasarkan kepada fakta hukum.
Menurut Dudung. asumsi-asumsi yang terus bergulir di ranah publik pasca viralnya film tentang pembunuhan Vina, tidak akan mampu mengubah apapun, kecuali akhirnya dituding hanya sebagai pengalihan isu dari kasus yang lebih penting untuk diviralkan.
Terlepas dari kontroversinya, proses penegakan hukum perkara kematian Vina dan Eki sudah inkracht, memiliki kekuatan hukum tetap karena sudah sampai kasasi di Mahkamah Agung (MA),
Satu-satunya peluang, jika memang para terpidana tidak bersalah dan sekaligus untuk mengungkap dugaan rekayasa dalam poenanganan kasus kematian vina dan Eki adalah Peninjauan Kembali (PK).
“Satu-satunya fasilitas hukum yang ada hanyalah PK. Namun harus ada novum atau bukti baru. Ini akan bergantung pada kecanggihan para pengacara terpidana mengidentifikasikan novum untuk membebaskan terpidana lewat PK,” tutur Dudung.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.