SUARA CIREBON – Objek wisata Hutan Mangrove Karangsong di Desa Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu tetap menjadi pilihan para wisatawan yang berlibur di daerah pantura tersebut.
Ida Royani (43 tahun), mengaku tetap menyempatkan waktu berkunjung ke Hutang Mangrove Karangsong setiap mudik dan memiliki bekal waktu banyak mengisi liburan di kampung halaman.
Warga Desa Sidedel, Kecamtan Sindang berkunjung ke Hutan Mangorove Karangsong karena rindu dengan suasana pantai dengan rimbunan berbagai jenis pohon mangrove yang menghijau di kawasan pesisir Indramayu.
“Kalau liburan, saya lebih sering menyempatkan waktu ke wisata Mangrove Karangsong,” tutur ibu tiga anak yang namanya sama dengan penyanyi tahun 70an tersebut.
Minggu 29 Desember 2024, seorang karyawati sebuah perusahaan di Jakarta ini berkunjung dengan anak-anak dan saudaranya.
Di Indramayu, selain ke Pantai Tirtamaya Juntinyuat dan Bali (Balongan Indah), ia menyempatkan waktu ke Hutan Mangrove Karangsong untuk mengisi saat mudik liburan menjelang Tahun Baru 2025.
Ida Royani sengaja memilih ke Hutan Mangrove pada Minggu menjelang sore. Kebetulan cuaca sedikit mendung tapi terang.
“Ini cuacanya pas banget. Masih siang, agak mendung tapi cerah. Tidak merasakan panas. Tidak melelahkan bawa anak-anak saat masuk ke hutan mangrove,” tuturnya.
Wanita ini mengaku sudah lebih dari lima kali berkunjung ke hutan mangrove. Karena itu, ia bisa membedakan kunjungan kali ini dengan sebelumnya.
“Maaf, sekarang kondisinya menurun banget. Tidak seindah dulu. Bahkan jogging tracknya banyak yang rusak. Kita hanya memanfaatkan yang masih bisa dilalui aja,” tuturnya.
Ida Royani sangat menyayangkan menurunnya daya dukung obyek wisata ini. Padahal dahulu saat semua fasilitas lengkap, sangat menarik untuk dikunjungi.
“Dulu, kalau libur, apalagi menjelang tahun baru, sudah sangat ramai. Sekarang kelihatannya merosot jauh. Mungkin karena banyak yang rusak fasilitasnya,” tutur Ida Royani.
Tarika, pengelola objek wisata Hutan Mangrove Karangsong mengakui menurunnya daya dukung di kawasan tersebut.
Ia juga membenarkan kalau terjadi kemerosotan jumlah pengunjung. Masa-masa emas wisata Hutan Mangrove Karangsong itu terjadi antara tahun 2016 sampai 2019.
“Semua merosot sejak terjadi pandemi Covid 19. Sampai hari ini belum pulih. Menurunnya daya dukung, sepetri jogging track yang pada rusak juga karena tidak terurus dan terawat ketika pandemi,” tuturnya.
Sampai hari ini, wisata Hutan Mangrove Karanganyar, boleh dibilang kembang kempis. Jumlah pengunjung jauh menurun.
Penyebabnya, setelah pandemi Covid 19, adanya fenomena alam yang lain, yakni gelombang pasang yang makin tinggi dan sering menutup seluruh badan jalan menuju lokasi wisata tersebut.
“Pandemi Covid 19 diperparah gelombang pasang. Makin kesini makin besar. Dulu tidak pernah melimpas ke jalanan, kini setiap gelombang pasang selalu melimpas menutupi jalanan. Ini membuat warga tidak lagi antusias berkunjung,” tutur Tarika.
Makin tahun, Tarika merasakan gelombang pasang makin parah. Contohnya tahun 2024 ini. Jika sebelumnya, gelombang pasang maksimal terjadi sampai bulan Juli, kali ini berlangsung sepanjang tahun.
“Tahun-tahun sebelumnya Juli atau selambatnya Agustus sudah tidak ada lagi gelombang pasang. Sekarang sampai akhir Desember, hari ini, masih terjadi. Tadi kesini kan melewati genangan air ya. Itu air pasang. Pulang motor harus segera dicuci karena itu air laut,” tutur Tarika.
Mengenai menurunnya jumlah pengunjung, bagi Tarika tidak terlalu persoalan. Sebab, awalnya, ia merintis pembuatan hutan mangrove sejak tahun 2000, memang bukan untuk wisata, tetapi untuk memperkuat ekosistem pesisir.
“Sebenarnya wisata itu hanya bonus. Tujuan kita itu memperkokoh benteng pesisir dengan hutan mangrove. Konsep wisatanya juga edukasi. Untuk kawasan riset mahasiswa dan peneliti yang sampai sekarang masih terus berjalan,” tutur Tarika.
Hanya saja, lanjutnya, kalau wisata tetap jalan, tentu akan lebih baik karena ada efek tambahan pendapatan bagi warga pesisir.
“Kawasan ini memang butuh revitalisasi kalau untuk membangkitkan lagi sisi wisatanya. Cuma butuh keterlibatan banyak pihak. Dulu, jogging track misalnya dibangun Pertamina lewat dana CSR (Coorporate Social Responsibility). Sekarang setelah dapat penghargaan Propes Emas, mungkin Pertamina fokusnya ke hal lain,” tutur Tarika.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.