SUARA CIREBON – Sejarawan, seniman sekaligus Ketua Dewan Kesenian Cirebon (DKC), H Sulama Hadi menuturkan sejarah Cirebon pada zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Menurutnya, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, Karisedenan Cirebon dibagi dalam lima distrik yakni Distrik Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan dan Distrik Linggarjati. Pada saat itu, lanjut Sulama, wilayah selatan Cirebon termasuk wilayah Sumber masuk ke dalam Distrik Linggarjati.
“Baru pada tahun 1808, sistem distrik dihapus dan diganti dengan sistem Pemerintahan Kabupatian, dimana Distrik Linggarjati dihapus dan wilayahnya dibagi menjadi dua wilayah yakni Kuningan dan Cirebon,” ujar Sulama, Senin, 21 April 2015.
Menurut Sulama, sistem pemerintahan Kabupatian Cirebon berjalan dari tahun 1808 hingga 1910. Dimana pada tahun 1910 kembali terjadi perubahan wilayah administratif di Cirebon.
“Cirebon awalnya satu wilayah, namun karena wilayah kota dianggap sebagai pusat perdagangan atau syahbandar, maka wilayah ini dipisahkan dari Kabupatian Cirebon menjadi Kota Administratif (Kotip). Pemisahan wilayah ini terjadi pada tahun 1910, mulai saat itu Kabupaten dan Kota dipisahkan wilayahnya,” katanya.
Kotip Cirebon, imbuh Sulama, berjalan dari tahun 1910 hingga 1926, setelah itu diubah namanya menjadi Stadgemeemte dimana perubahan nama ini berarti dimulainya daerah otonom. Nama Stadgemeemte ini terjadi dari tahun 1926 hingga 1957. Setalah tahun 1957 berganti nama lagi menjadi Kota Praja setelah itu pada tahun 1965 berganti menjadi Kota Madya dan pada tahun 2003 menjadi Kota Cirebon.
“Dibantuknya Kabupatian oleh Hindia Belanda pada 1808 ini menjadi titik awal perlawanan keluarga Keraton Cirebon, dan lebih dikenal dengan istilah perang kedonggong (perang terbuka). Karena pada saat saat itu pemerintah Belanda memperlakukan masyarakat dengan keji seperti pajak yang tinggi dan lain sebagainya,” katanya.
Kabupatian Cirebon pada tahun 1808, menurut Sulama, dipimpin oleh Bupati yang bernama R. Sinuk (Muchamad), dimana Pendopo Kartini menjadi pusat pemerintahnya. Pendopo itu dulu pada zaman Hindia Belanda merupakan kantor PU yang mengurus infrastruktur.
“Sejak 1810 hingga 1982 pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon adanya di Pendopo, dan baru pada tahun 1982 atau pada zaman Bupati Suwendo dipindahkan ke Sumber. Proses pemindahan ibu kota Kabupaten Cirebon sebenarnya sudah digagas sejak kepemimpinan Kol Caj H Memed Tohir,” jelasnya.
Pada zaman Memed Tohir itu, menurut Sulama, sudah digagas untuk memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon dimana ada tiga opsi daerah yang akan dijadikan ibukota. Tiga daerah yang siapkan adalah Ciledug, Sumber dan Arjawinangun.
“Sumber dianggap tengah-tengah, selain itu juga Sumber memiliki kekayaan alam yang melimpah terutama mata air. Makanya dipilih Sumber sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon,” katanya.
Awal pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Cirebon ke Sumber, menurut Sulama, ditandai dengan dibangunnya kantor Departemen Penanganan yang sekarang menjadi kantor Budpar Kabupaten Cirebon. Setelah itu baru dibangun Kantor Pengadilan Negeri, dan dibangun beberapa kantor lainnya termasuk kantor Bupati saat ini.
“Sejak didirikan Kabupatian, pemerintah pada saat itu mulai membentuk pemerintahan yang lebih kecil seperti desa-desa. Berdasarkan sejarah desa pertama yang dibentuk adalah Desa Tangkil (Pasindangan). Setelah itu baru desa lainnya yang ada di wilayah utara,” tutupnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.