SUARA CIREBON – Kerusakan lahan bekas galian tambang di Gunung Kuda sudah cukup parah. Hal itu terjadi akibat aktivitas penambangan yang berlangsung selama bertahun-tahun, di kawasan tersebut.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Cirebon mendesak para pengusaha tambang di kawasan Gunung Kuda untuk segera melakukan reklamasi di lahan bekas galian yang mengalami kerusakan.
Kepala DLH Kabupaten Cirebon, Iwan Ridwan Hardiawan menegaskan, reklamasi harus dijalankan oleh setiap pemegang izin tambang, karena reklamasi merupakan kewajiban yang telah diatur dalam perundang-undangan.
Pihaknya mengingatkan agar para pengusaha tambang menjalankan apa yang sudah mereka janjikan dalam dokumen lingkungan.
“Reklamasi ini bukan pilihan, tapi kewajiban,” ujar Iwan Ridwan, kemarin.
Meski kewenangan perizinan tambang saat ini berada di tangan pemerintah pusat dan provinsi, namun menurut Iwan, pemerintah kabupaten tetap memiliki peran dalam pengawasan terhadap dampak lingkungan yang timbul di daerahnya ini.
Menurut Iwan, kewenangan perizinan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan memang telah berpindah ke pemerintah pusat sejak tahun 2020 lalu. Namun, pemerintah pusat kemudian mendelegasikan sebagian kewenangan tersebut ke pemerintah provinsi.
Kendati demikian, DLH Kabupaten Cirebon tetap menjalankan fungsi pengawasan melalui evaluasi laporan dari perusahaan tambang yang diserahkan setiap semesternya.
“Laporan pengelolaan lingkungan itu wajib diserahkan setiap semesternya. Kami cek di dalamnya apakah aktivitas pertambangan sesuai dengan dokumen UKL-UPL atau AMDAL yang mereka miliki,” kata Iwan.
Berdasarkan hasil pengamatan DLH, termasuk melalui citra satelit dari tahun 2009 hingga saat ini, tutupan vegetasi di area tambang terus mengalami degradasi.
Itu artinya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kawasan Gunung Kuda telah mengalami perubahan bentang alam yang signifikan, meskipun ada kewajiban administratif. Sehingga, kondisi tersebut jelas berdampak besar terhadap kualitas lingkungan.
Salah satu dampak paling nyata adalah menurunnya daya resap air tanah di kawasan bekas tambang.
“Akibat terbukanya lahan secara masif, tanah yang sebelumnya mampu menyerap air hujan secara alami, kini telah kehilangan fungsi hidrologisnya. Hal ini meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan longsor,” ujar Iwan.
“Jadi tidak bisa dianggap sepele, karena peresapan air terganggu, dan fungsi ekologis tanah telah berubah,” imbuhnya.
Untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang telah rusak, dibutuhkan kajian lebih mendalam oleh para ahli. Iwan belum bisa memperkirakan estimasi pasti lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi ekologis Gunung Kuda secara menyeluruh.
“Harus ada pengkajian khusus, karena kerusakan lingkungan itu tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat,” terangnya.
Iwan menegaskan, secara prinsip, setiap pengusaha tambang memiliki tanggung jawab penuh untuk melakukan reklamasi pascapenambangan. Hal ini biasanya sudah tercantum dalam dokumen perencanaan tambang yang disahkan saat proses perizinan.
“Sudah ada hitung-hitungannya karena bukan sesuatu yang mendadak. Harusnya mereka sudah menyiapkan dana dan rencana reklamasi sejak awal,” tegas Iwan.
DLH berharap pemerintah provinsi sebagai pemegang kewenangan pengawasan utama segera mengambil langkah tegas terhadap pengusaha yang lalai dalam menjalankan kewajiban reklamasi.
Iwan mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi dan melaporkan jika menemukan indikasi pelanggaran atau kerusakan lingkungan baru akibat aktivitas tambang karena menyangkut masa depan lingkungan bersama.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















