SUARA CIREBON – Ketua, pengurus, dan kader lembaga kemasyarakatan desa menggeruduk kantor Desa Setu Kulon, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, menyayangkan ketidakharmonisan antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan pemerintah desa (pemdes) yang telah berlangsung lebih dari 1,5 tahun, Sabtu, 14 Juni 2025.
Pasalnya, ketidakharmonisan pemdes dan BPD menyebabkan gagalnya pengajuan Anggaran Dana Desa (ADD) yang berimbas pada ketiadaan anggaran operasional desa, termasuk honorarium lembaga desa selama 1,5 tahun terakhir.
Plt Kuwu Setu Kulon, Tanto, menjelaskan, aksi yang dilakukan oleh lembaga desa dan masyarakat tersebut, untuk menuntut agar ADD tahun 2025 segera dicairkan.
“Sudah 1,5 tahun mulai dari tahun 2024 tidak ada anggaran apapun yang masuk ke Desa Setu Kulon ini,” kata Tanto.
Menurut Tanto, banyak dampak yang dirasakan ketika anggaran dana desa tidak cair. Pelayanan kepada masyarakat pun, lanjut Tanto, ikut terkena imbasnya.
“Dampak anggaran desa tidak cair banyak sekali, mulai dari listrik tidak bisa terbayar, kertas untuk pelayanan tidak bisa terbeli, tinta printer pun sampai kering bahkan sampai pelayanan kesehatan Posyandu tidak dapat berjalan seperti biasanya dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak bisa berjalan,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, merupakan dampak dari hubungan antara BPD dan kuwu yang tidak harmonis. Imbasnya, kuwu definitif diberhentikan sementara oleh Bupati Cirebon melalui Badan Perbedayaan Masyarakat dan Desa (DPMD).
“Selalu yang dipakai itu regulasi dan peraturan perundang-undangan. Padahal dengan regulasi pelaksana tugas (Plt) sudah sah secara aturan,” katanya.
Padahal menurut Tanto, plt kuwu diatur dalam Peraturan Mendagri Nomor 16 Tahun 2019 terkait Desa Insidental. Menurut dia, harusnya BPD paham dengan aturan tersebut.
“Terkait apa yang disampaikan oleh BPD tentang alokasi Anggaran Dana Desa (ADD) mulai dari Agustus sampai dengan April 2025 yang mana peruntukannya untuk kuwu dan perangkat desa, itu saya ambil memang benar, tidak membantah, tetapi diaplikasikan untuk operasional desa,” ujarnya.
Operasional desa yang dimaksud adalah membayar listrik, operasional mobil siaga desa dan kebutuhan lainnya.
“Pencairan Siltap itu pun hanya untuk yang memegang Surat Keputusan (SK) saja, karenanya tidak semua perangkat desa menerima, karena perangkat desa yang sebelumnya itu belum mendapatkan SK yang baru setelah tadinya diberhentikan,” tuturnya.
Tanto menyebut, perangkat desa yang masih aktif berdasarkan SK hanya tiga orang, yakni Kuwu (Joharudin) sebelum diberhentikan sementara, Sekdes Tanto (sekarang menjabat Plt Kuwu) dan kasi pemerintahan.
“Kalau secara aturan ADD memang tidak diperbolehkan untuk operasional desa. ADD itu peruntukannya untuk Siltap, tetapi karena pada tahun 2024 Dana Desa tidak bisa cair sama sekali, kita sebisa mungkin menghidupkan roda Pemerintahan Desa Setu Kulon,” ucapnya.
Menurut Tanto, Peraturan Kemendagri No 16 tahun 2019 terkait Desa incidental, hal itu diperbolehkan.
“Tetapi dari pihak perangkat desa yang menerima hak (Siltap) menuntut untuk dikembalikan, maka saya siap untuk mengembalikan ADD yang sudah dicairkan,” tegasnya.
Tanto juga menyinggung adanya keterlambatan dari pihak BPD untuk melaksanakan Musyawarah Desa Khusus (Musdesus). Musdesus yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 25-26 Mei, tetapi baru dilaksanakan pada tanggal 11 Juni kemarin. Sehingga hanya menyisakan 4 hari kerja untuk pelaporan kepada pihak kecamatan, DPMD dan KPPN. Padahal dari pemerintah desa sudah menyiapkan RKPDes, ABPDes dan lainnya.
“Ketika penyerahan hasil musdesus tersebut adanya evaluasi dari pihak kecamatan, saya Plt kuwu tidak menyelesaikan evaluasi dan kekurangan tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu Ketua BPD Setu Kulon, Yosep Anandi, mengaku, pihaknya tidak mengetahui, karena berdasarkan hal dikoordinasikan dengan DPMD dan inspektorat sudah dilaksanakan.
“Muara utama persoalan ada di pemerintah desa, bukan di BPD, karena BPD hanya bertugas menyelenggarakan musyawarah desa,” kata Yosep.
Adanya isu ketidakharmonisan antar BPD dan pemerintah desa, menurut Yosep, hanya pengalihan isu.
“Permasalahan muncul di dalam internal desa itu awalnya ada pengambilan dana di rekening desa yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Ada alokasi ADD Siltap tahun 2024 diambil tidak sesuai dengan jumlah perangkat desa yang ada dan juga besaran nominalnya tidak sesuai, yang mana penggunaannya untuk kepentingan pribadi,” pungkasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















