SUARA CIREBON – Pelestarian budaya melalui penataan ruang publik yang menonjolkan arsitektur tradisional khas daerah terus dilakukan Pemerintah Kota Cirebon dalam menyambut usia ke-598 Cirebon.
Hal itu diwujudkan dengan mempercantik wajah Balai Kota Cirebon dengan sentuhan arsitektur tradisional khas daerah yang lebih artistik dan sarat makna budaya.
Pagar Balai Kota Cirebon dihiasi bata merah yang tersusun rapi, berpadu dengan ornamen candi bentar yang mencerminkan ciri khas arsitektur tradisional Cirebon.
Pemasangan material bata merah, candi bentar, dan berbagai ornamen tradisional, tidak hanya menjadikan pagar Balai Kota indah dipandang mata, namun juga merepresentasikan karakter yang kaya sejarah sekaligus mencerminkan ciri khas arsitektur tradisional Cirebon.
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo di Cirebon, mengatakan, penataan kawasan Balai Kota tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap akar budaya lokal yang ingin terus dihidupkan di ruang-ruang publik.
“Dinding-dinding yang dulunya lusuh, kini dipoles kembali, menghadirkan corak yang mengingatkan kita pada jati diri Cirebon sebagai kota bersejarah dengan warisan leluhur,” ujar Wali Kota Effendi Edo, Selasa, 8 Juli 2025.
Menurutnya, pemasangan dua tugu udang berwarna emas yang berdiri tegak menegaskan simbol “kota udang” yang telah lama melekat pada identitas Cirebon.
“Bukan sekadar mempercantik, penataan ini adalah upaya kita menghadirkan kebanggaan bagi kota tercinta,” katanya.
Edo menuturkan nuansa tradisional pun terasa hingga ke area dalam balai kota, misalnya lampu-lampu penerangan kini dipercantik dengan ornamen topeng panca wanda untuk menambah kesan khas budaya Cirebon.
Menurut Edo, penataan dilakukan menyeluruh, tak hanya pada bagian luar, namun juga di dalam lingkungan termasuk taman-taman yang sedang dibenahi agar menjadi ruang hijau yang nyaman dan rindang.
“Elemen bata merah dan candi bentar juga mulai diterapkan di sejumlah ruang publik lainnya, seperti di Alun-alun Kejaksaan, Jalan Siliwangi, dan Alun-alun Sangkala Buana yang berada tepat di depan Keraton Kasepuhan,” katanya.
Terkait hal itu, pemerhati budaya Cirebon, Jajat Sudrajat, mengaku mendukung upaya Pemerintah Kota Cirebon dalam menghadirkan pelestarian budaya melalui penataan ruang publik. Jajat menilai, penggunaan ornamen tradisional tersebut sangat tepat untuk memperkuat identitas lokal.
Ia menyebutkan penggunaan ornamen bata merah erat kaitannya dengan sejarah Pangeran Panjunan, tokoh penyebar Islam sekaligus ahli gerabah asal Cirebon.
“Pangeran Panjunan bukan hanya ulama, tetapi juga ahli pembuat keramik. Dari sana lahir tradisi bata merah yang kini menjadi bagian dari sejarah kota,” kata Jajat.
Jajat menjelaskan, makna filosofis dari Candi Bentar, yaitu dua bangunan terpisah yang membentuk celah sempit sebagai simbol tanggung jawab individu di akhirat.
“Saya sangat mendukung. Ini penting untuk pelestarian sejarah dan jati diri Cirebon,” tandasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















