CIREBON, SC- Berbicara BPJS seakan tak pernah usai hadirkan persoalan. Seperti salahsatu contohnya terkait sejumlah rumah sakit yang kesulitan cash flow akibat klaim yang belum dibayar. Belum lagi soal jaminan BPJS untuk menutup selisih iuran kelas III kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang kenaikannya ditolak DPR. Fakta ini mencuat ketika Anggota Komisi IX DPR RI, Dr Netty Prasetiyani MSi melakukan kunjungan ke RSUD Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Kamis (26/12/2019).
“Saya sedih dan tak kuasa menahan air mata mendengar keluhan tenaga medis yang belum dibayarkan jasa pelayanannya karena rumah sakit kesulitan biaya operasional,” ujar Netty setelah pertemuan tersebut yang kedatangannya diterima langsung Direktur RSUD Arjawinangun dr Bambang sumardi MARS, sejumlah dokter dan tenaga medis lainnya.
Menurut Netty, belum dibayarkannya gaji para dokter dan perawat akibat kesulitan cash flow dari pihak BPJS adalah tindakan zalim dan kesewenang-wenangan. Karena untuk menangani dan mencari solusi terkait permasalahan tersebut memang sudah menjadi tugas negara, sehingga mereka tidak seharusnya terdampak akibat permasalahan ini.
“Jika kendalanya proses verifikasi dan validasi data, bukankah BPJS bisa cari solusi dengan menambah tenaga verifikator. Jika kendala biaya, bukankah Menkes mengatakan kewajiban PBI (penerima bantuan iuran) sudah ditunaikan? Bukankah memang menjadi kewajiban negara untuk mencari terobosan dan inovasi sumber pendanaan yang sah?” ungkapnya.
Selain itu, dirinya juga menyesalkan adanya sejumlah aturan BPJS yang menyulitkan tenaga medis untuk menjalankan fungsi profesionalnya dengan baik. Sehingga, kata Netty, jika hal itu dilakukan di luar ketentuan, maka resikonya klaim akan ditolak yang dapat menyebabkan rumah sakit mengalami kerugian.
“Bayangkan, dokter spesialis dengan kompetensi bagus dan peralatan medis memadai, kadang harus memilih tindakan pelayanan yang tidak perform karena dibatasi dengan aturan covering biaya oleh BPJS,” katanya.
Dengan pola managemen seperti itu, tambah Netty, wajar saja jika muncul kesan BPJS hanya berpikir soal profit, hanya mau membayar murah pelayanan, dan tekanan kecurigaan bahwa ada banyak fraud (penipuan) di rumah sakit. Untuk itu, dirinya berjanji akan membawa persoalan tersebut ke rapat Komisi IX pada masa persidangan berikutnya.
“Jika BPJS tidak membenahi manajemen pembayarannya, saya khawatir akan banyak rumah sakit yang tidak bisa optimal melayani pasien. Akibatnya, pasien memilih lari ke rumah sakit swasta yang memiliki modal besar dan siap menalangi pembiayaan di awal,” ucap Netty.
Dia juga mengungkapkan, menurut data RSUD Arjawinangun sebagai rumah sakit tipe B, tingkat kunjungan pasien ke poli klinik dan tingkat hunian rawat inap di rumah sakit ini mengalami penurinan yang sangat drastis.
“Info yang saya terima, dari rerata jumlah kunjungan 11.000-12.000 pada 2018 menjadi 7.000 – 8.000 pada 2019. Dari 800-an tempat tidur, hanya terisi 200-an. Kemana larinya?” tanya Netty.
Untuk itu, berdasarkan fakta dan data empirik yang berhasil terungkap di lapangan ini menjadi kegundahannya. Pasalnya, Netty khawatir kesehatan dijadikan komoditas industri yang dikuasai pemodal besar atau konglomerasi.
“Ini harus menjadi kesadaran kolektif para pegiat ekosistem kesehatan untuk menolak upaya menarik pelayanan kesehatan menjadi industri yang meminggirkan swasta dengan modal kecil bahkan rumah sakit negeri,” ujarnya.
Netty menegaskan, upaya negara dalam menjamin kesehatan rakyat dengan menggelontorkan APBN jangan sampai hanya jadi bancakan pihak-pihak yang berorientasi mengeruk keuntungan semata.
“91 juta peserta PBI berapa nilainya? Jika diperluas hingga 110 juta, berapa totalnya? Jika 246 juta penduduk Indonesia wajib ikut BPJS dan kemudian hanya ditangkap oleh jaringan pemodal besar, apa namanya jika bukan monopoli?” tanya Netty gusar.
Oleh karena itu, Netty mengingatkan agar pengelola rumah sakit atau klinik swasta dengan permodalan kecil dapat berbenah diri. Pembenahan tersebut salahsatunya dengan meningkatkan kualitas pelayanan, jangan bersandar pada kemewahan dan kemudahan fasilitas saja, melainkan mereka diimbau dapat melakukan pelayanan dengan hati. Sehingga mereka banyak diminati masyarakat dan dapat memenangkan persaingan dengan rumah sakit milik pemodal besar.
“Menangkan persaingan dengan peningkatan kualitas layanan, bukan bersandar pada kemewahan dan kemudahan fasilitas tapi kualitas layanan dengan hati. Rumah sakit dan klinik itu bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Ia harus bertumbuh dengan prinsip manajemen modern dan berdaya saing tinggi namun tetap tidak menanggalkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan,” pungkasnya. (Arif)