Oleh: Husein Fauzan
*)Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cirebon
“Shuumuu tashihhuu”. Berpuasalah maka kamu akan sehat. (Al-Hadits)
Secara etimologis, puasa atau shaum artinya menahan diri dari sesuatu hal atau perkara. Sedangkan pengertian sederhana puasa menurut istilah Agama Islam adalah menahan diri dari kegiatan makan minum dan bercampur suami isteri (coitus), mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Diawali dengan niat yang ikhlas, taat, taqarrub kepada Allah SWT., dan hanya ingin mendapat ridhoNya.
Apabila puasa dilaksanakan dengan penuh kesungguhan, ikhlas, dan hanya ihtisab atau memasrahkan imbalannya hanya kepada Allah, niscaya akan berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani yang mengamalkannya.
Hikmah puasa terhadap kesehatan jasmani, antara lain dapat mengistirahatkan organ-organ pencernaan manusia. Pada hari-hari biasa atau ketika sedang tidak berpuasa, alat-alat pencernaan bekerja sesuai siklusnya dengan istirahat yang sangat sedikit, bahkan mungkin tidak sama sekali. Namun, lain halnya pada Bulan Suci Romadhon.
Ibarat sebuah pabrik, makanan yang kita makan diproses secara kimiawi dan mekanis. Dengan organ tubuh yang serba ajaib mampu melumatkan makanan menjadi suatu sajian yang siap diserap oleh tubuh.
Menurut para pakar kesehatan, mengolah makanan yang dikunyah sampai siap untuk diedarkan ke seluruh tubuh, memakan waktu sekitar delapan jam. Empat jam diproses di dalam lambung, dan empat jam lagi dalam usus kecil. Luar biasa, bukan waktu yang singkat ! Dan itu terjadi terus menerus tiada henti setiap hari.
Dalam kondisi diluar Bulan Ramadhan atau tidak puasa, katakanlah kebanyakan orang makan pagi (sarapan) sekitar pukul enam tiga puluh menit. Itu berarti, makanan akan lumat dan siap diedarkan ke seluruh tubuh delapan jam kemudian, atau persis pada sekitar pukul 13.30. Baru saja selesai memeroses makanan sarapan pagi, telah datang makan siang yang biasanya pada kisaran pukul 12.00 sampai 13.00. Belum lagi pada rentang waktu antara sarapan pagi sampai makan siang tersebut ada makanan cemilan (snack) yang perlu diproses. Maka pelumatan makanan akan melebihi pukul 13.30.
Makanan yang kita santap pada pukul 13.00 pada waktu makan siang, akan berakhir dicerna pada pukul 21.00 atau jam sembilan malam. Belum lagi antara makan siang sampai makan malam, masuk makanan kecil (ngemil). Makanan yang disantap pada makan malam sekitar pukul 20.00 baru akan berakhir diproses pada sekitar pukul empat subuh. Ketika kita bangun pada saat akan melaksanakan sholat Subuh, kadang kita langsung minum. Maka proses pun menjadi tanpa putus selama sekitar 24 jam. Begitulah sibuknya alat-alat pencernaan kita. Dan, ini berjalan terus menerus sepanjang hayat.
Namun, lain lagi ceritanya apabila kita melaksanakan ibadah puasa. Ketika makan Sahur selesai dilakukan pada sekitar pukul 04.00 menjelang terbit fajar, berarti delapan jam kemudian atau sekitar pukul 12.00, saat Sholat Dzuhur tiba, alat pencernaan telah selesai bekerja. Sejak saat itu, atau sekitar enam jam sampai menunggu datangnya berbuka puasa, alat pencernaan istirahat, berlangsung selama satu bulan dalam bulan Romadhon.
Sama halnya dengan mesin pabrik, alat pencernaanpun perlu istirahat. Dapat dibayangkan betapa cepat aus dan rusaknya, manakala mesin pada sebuah pabrik setiap waktu berjalan terus menerus tanpa mengenal istirahat. Karena kita yakin, ciptaan Allah di muka bumi ini (makhluk) memiliki keterbatasan kemampuan. Dengan beristirahat, alat-alat pencernaan menjadi lebih giat dalam mereduksi dan menyerap makanan yang dikonsumsi. Maka daya serap tubuh terhadap gizi akan semakin menguat.
Hikmah shaum, selain berdampak terhadap kesehatan jasmani, juga sangat bermanfaat bagi kesehatan rohani. Ketika perut kenyang, banyak darah disalurkan untuk melakukan proses pencernaan. Sehingga mudah terserang kantuk, malas, letih, lesu, dan susah konsentrasi. Sehingga, kemampuan berfikir menjadi lemah ! Namun, ketika menjalankan puasa, volume darah yang digunakan untuk pencernaan dikurangi, dan dipakai untuk kegiatan lain, terutama untuk melayani otak. Makanya, kemasyhuran para ulama atau para pengarang yang melahirkan karya-karya besar dan bermutu, justru pada bulan Ramadhan. Demikian juga halnya dengan tokoh politik yang berpuasa dalam tahanan sering membuahkan tulisan-tulisan yang sangat berharga seperti yang mulia tokoh spiritual yang juga Pemimpin Revolusi Iran Imam Ayatullah Rohullah Khomeini, Buya Hamka, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Perkembangan terakhir dunia kedokteran jiwa mengungkapkan bahwa puasa dapat meningkatkan derajat perasaan atau kecerdasan emosi yang biasa disebut dengan istilah Emotional Quotient (EQ). Secara psikologis, manusia tidak cukup hanya diukur atau dinilai dari derajat kecerdasan otak atau Intelligent Quotient (IQ) saja, tetapi perlu diukur juga dari EQ-nya. EQ inilah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan sifat-sifat atau kepribadian seseorang, seperti sifat santun, dermawan, sabar, rela berkorban, kasih sayang, kepedulian, dan sebangsanya. Sedangkan IQ berpengaruh pada percaya diri (self confident) dan meningkatnya daya ingat dan daya nalar seseorang.
Kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri ketika berpuasa, sangat erat kaitannya dengan meningkatnya EQ seseorang. Misalnya, pada siang bolong, terik matahari dan keringnya tenggorokan, dengan perut keroncongan, mengapa air yang telah masuk ke mulut ketika kita berwudu untuk melakukan sholat tidak diteguk ? Padahal tidak ada seorangpun yang mengetahui bila sepersekian dari air kumur itu ditelan untuk sekedar membasahi keringnya tenggorokan. Semua itu intinya adalah iman, yang berdampak pada kemampuan pengendalian diri seseorang. Begitu juga terhadap makanan dan minuman serta isteri yang tersedia di rumah sekalipun. Mengapa kita tidak makan atau minum atau melakukannya walaupun itu halal ? Semua itu merupakan arena pendidikan dan arena pelatihan untuk sabar, disiplin, empati, dermawan dan sebangsanya. Dan itu adalah EQ !
Otak adalah titik sentral dalam tubuh untuk berfikir, belajar dan bekerja. Sesuatu yang dihasilkan oleh kecerdasan otak, secara empirik belum dapat dikatakan benar, sebelum dilengkapi dengan kecerdasan rohani atau budi pekerti. Kecakapan otak hanyalah sebatas obyek yang nyata, yang dapat diraba dan disaksikan oleh panca indera lahir yang riil dan logis.
Itulah sebabnya, hikmah puasa mengajarkan kepada kita bahwa puasa itu menyehatkan, dapat membangun kepercayaan diri, menajamkan mata bathin dan intuisi. Dan itu pulalah kiranya apa yang ditulis dalam firmanNya, tujuan perintah puasa atau shaum itu adalah menjadi orang yang memiliki derajat taqwa (la’allakum tattaquun). Wallahu a’lam.***