Pasalnya, sejak peristiwa dugaan tindak kekerasan yang menimpa anaknya terjadi pada Februari 2021 lalu, hingga kini proses hukum terhadap pelaku masih belum sesuai harapan. Proses hukum sejak awal pelaporan hingga kini berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Sumber Kabupaten Cirebon, berjalan relatif lama.
Kepada Suara Cirebon, AR menyampaikan, sebenarnya ia ingin permasalahan tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan sejak awal kejadian. Mengingat, terduga pelaku yang saat ini sudah menjadi terdakwa di PN Sumber, masih keluarganya sendiri. Dimana, terdakwa adalah kakak iparnya sendiri. Itu berarti, korban tindak kekerasan tersebut masih keponakan pelaku.
BACA JUGA: Komnas: Kekerasan Anak Kerap Dilakukan Orang Dekat
Sayangnya, kata AR, dalam proses mediasi yang dilakukan pihak lain beberapa saat setelah kejadian, tidak direspons oleh pelaku. Ia menyebut, tidak ada itikad baik dari pelaku.
“Malah saya yang dikata-katain kasar sama dia,” ujar AR, Selasa (23/8/2022).
Menuut AR, kronologis kejadian tersebut bermula ketika dirinya mengantarkan orang tuanya ke rumah terdakwa di wilayah Kedawung karena sakit. Ia sendiri saat itu masih tinggal di wilayah Kecamatan Tengahtani. Dalam mengantar orang tuanya ke rumah terdakwa tersebut, AR hanya ditemani anaknya (korban) yang saat itu masih berusia 10 tahun.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual di Kabupaten Cirebon Dominasi Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
“Tiba-tiba sesampainya di sana, setelah membuka pintu, kakak (ipar, red) langsung menampar anak saya dengan tangan kanan. Saya sendiri waktu itu tidak tahu penyebabnya,” kata AR.
Ia mengatakan, tamparan keras pelaku tersebut hingga menyebabkan salah satu gigi anaknya tanggal di tempat kejadian. Sementara satu gigi lainnya goyah. Karena tidak ada titik temu dalam proses mediasi pascakejadian, ia pun kemudian melaporkan kasus tersebut ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak PPA Polres Cirebon Kota.
Dijelaskan AR, kejadian tersebut membuat korban mengalami trauma. Selama tujuh hari korban tidak mau masuk sekolah. Kemudian, ia pun melaporkan kasus tersebut ke Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Cirebon dan Komisi Perlindingan Anak Indonesia (KPAI) Cirebon untuk mendapat terapi psikologis dan pengawalan kasusnya.
BACA JUGA: Korban Kekerasan di Panguragan Minta Tersangka Ditahan
“Tapi yang tahu persis anak saya mengalami trauma adalah Dinsos, karena sejak awal kejadian Dinsos turun ke lapangan dan terus memantau perkembangan anak saya. Kemudian saya lapor ke KPAI,” bebernya.
Ia menjelaskan, kasus tersebut kini masih bergulir di PN Sumber. Dalam prosesnya, lanjut AR, ia juga mengaku tidak mengerti karena sampai saat ini belum ada keputusan atau kekuatan hukum tetap bagi terdakwa. Dalam rentang waktu perjalanan kasus tersebut di PN Sumber, AR mengaku hanya sekali dihadirkan di persidangan, itu pun diikuti oleh terdakwa hanya secara virtual.
“Sidang sering diundur-undur, kalau saya diundang sidang itu mendadak, itu pun yang mengundang pihak penyidik kepolisian lewat telepon,” bebernya.
Meski ia mengaku awan hukum, namun dari proses hukum sejak awal pelaporan hingga kini masuk ke PN Sumber yang telah memakan waktu sekira 1,5 tahun itu membuat dirinya bertanya-tanya.
“Apakah terdakwa ditahan atau tidak saya tidak tahu. Saya hanya ingin agar prosesnya transparan dan segera ada keadilan buat anak saya,” ungkapnya.
Sementara itu, Humas PN Sumber Kabupaten Cirebon, Iqbal Fahri Juneidy Purba, memastikan, terdakwa ED sudah dilakukan penahanan di rutan sejak perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan. Di hadapan awak media, Iqbal pun langsung menelpon Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani perkara tersebut untuk memastikan terdakwa benar-benar ditahan.
“Yang jelas statusnya dia (terdakwa, red) saat ini ditahan,” ujar Iqbal.
Sementara untuk agenda sidang, menurut Iqbal, pada Selasa (23/8) adalah pemeriksaan lanjutan terhadap saksi-saksi. Hanya saja, sidang ditunda karena ketua majelis yang memimpin sidang harus mengantar keluarganya yang menjalani operasi di salah satu RS.
“Jadi ditunda hari Kamis dengan agenda masih pemeriksaan saksi-saksi,” kata Iqbal.
BACA JUGA: Wabup Cirebon: Gawai Sumbang Angka Kekerasan Anak
Untuk pemanggilan saksi yang dipertanyakan ibu korban, ia mengungkapkan, sesuai KUHAP pemanggilan saksi berdasarkan surat panggilan atau relas panggilan. Kemudian yang berhak memanggil saksi adalah JPU. Karena JPU yang tahu jadwal atau agenda sidang per sidangnya.
“Kalau tadi ada surat yang difoto atau dikirim, mungkin karena keterbatasan. Contohnya, saksi tidak diketahui keberadaannya saat dipanggil, mungkin akhirnya JPU meminta bantuan dari penyidik yang membuat berita acaranya. Jadi surat panggilannya difoto, tapi harus dipanggil,” jelasnya.
Disinggung terkait persidangannya yang dilakukan secara virtual, ia menegaskan bahwa sampai saat ini sidang memang masih dilakukan secara virtual sesuai surat edaran yang ada. Surat edaran tersebut mengatur persidangan untuk perkara pidana secara dilakukan secara virtual. Sedangkan untuk perkara perdata bisa dilakukan secara tatap muka.
BACA JUGA: Polisi Telusuri Video Kekerasan pada Lansia
“Sebenarnya untuk pidana, mungkin pengadilan sudah welcome untuk persidangan (off line, red), cuma terkait dengan tahanankan itu ranahnya rutan dan lembaga pemasyarakatan. Mereka mungkin lebih hati-hati mengeluarkan tahanan karena takut terjadi sesuatu. Tapi kalau ada edaran lagi (yang membolehkan, red) bisa tatap muka kami welcome,” bebernya.
Namun, menurut dia, untuk perkara pidana ada pengecualian, yakni bisa dilakukan secara offline. Seperti kasus-kasus yang booming dan menarik perhatian publik, persidangannya bisa dilakukan secara tatap muka. Namun, tetap berdasarkan permintaan dari ketua pengadilan dan JPU.
“Ada beberapa kasus yang memang dimintakan untuk hadir terdakwa seperti yang sedang booming yaitu kakek cabuli cucu, itu permintaan karena ingin diketahui masyarakat ramai. Jadi sifatnya kasuistis, karena agak menarik perhatian,” ungkapnya seraya menambahkan, kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur tersebut, kemungkinan masih menjalani proses persidangan dua sampai tiga kali lagi. (Islah)