Para remaja jomblo etnis Tionghoa ini memiliki tradisi unik dalam mencari jodoh.
Tradisi unik itu biasa dilakukan para gadis yang belum memiliki pasangan atau kekasih di hari kelima belas setelah Tahun Baru Imlek atau disebut dengan Cap Go Meh,
Tradisi unik yang jarang diketahui masyarakat pada saat Cap Go Meh diungkapkan Suhu Jeremy Huang Wijaya.
BACA JUGA: Misteri Waduk Malahayu, Ditunggu Ular Raksasa Si Buntung dan Mitos Jodoh Abadi
Suhu Jeremy mengungkapkan, pada saat Cap Go Meh atau hari ke 15 yang merupakan penutup rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek, di suku Hokkian berlaku tradisi melempar jeruk ke sungai.
Tradisi lempar jeruk ke sungai oleh para gadis remaja jomblo sebagai bahasa isyarat mencari jodoh. Biasanya, sang pria mengambil jeruk tersebut dibungkus bambu yang di dalamnya ada alamat sang gadis.
Tapi di zaman sekarang menggunakan plastik, di dalamnya ada alamat, nomor handphone (HP) dan email sang gadis.
Kemudian pria yang jomblo mengambil bungkusan tersebut. Lalu menghubungi sang gadis dan berkenalan.
“Saat ini, orang yang melempar jeruk ini tak lagi memberi informasi pribadi. Trennya memberikan akun Instagram atau akun media sosial lainnya,” tutur Suhu Jeremy.
Namun, tradisi di kalangan gadis remaja jomblo saat Cap Go Meh ini berlaku di kalangan masyarakat China di negeri moyangnya yaitu di Tiongkok.
Di negara China atau Tiongkok, etnis China Hokkian memiliki ekspresi Tim Kam Choaw Ho Ang, yang secara harfiah berarti melemparkan jeruk dan menikah dengan suami yang baik.
Sedangkan untuk pria, ini berarti Chua Ho Boar (menabuh drum untuk mendapatkan istri yang baik).
Jaman dulu di China, anak-anak muda melempar jeruk ke laut. Para lelaki akan menunggu di sampan. Mereka mengambil jeruk dan mencucinya. Lalu menjualnya di pasar.
Pada masa itu tak ada yang menulis nama dan nomor telepon mereka seperti sekarang. Mereka membiarkan nasib yang mengambil alih.
“Pada perayaan Cap Go Meh, masing-masing suku di China memiliki tradisi yang berbeda. Termasuk etnis Tionghoa di Indonesia,” tutur Suhu Jeremy.
Misalnya di Jawa, ada tradisi lontong Cap Go Me. Lontong Cap Go Meh punya banyak cerita. Kisahnya berkisar soal perpaduan budaya China dan Jawa.
Tak seperti di China, kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kawasan-kawasan perkampungan. Mereka hidup berdampingan dengan tetangga beda etnis.
Tak ayal, kondisi sedemikian rupa membuat asimilasi kebiasaan antara orang-orang Tionghoa dan etnis tetangga pun tercipta.
Asimilasi ini terjadi pada berbagai lini. Misalnya dalam kuliner, kita mengenal lontong Cap Go Meh. Makanan khas setiap perayaan Cap Go Meh ini terpengaruh oleh tradisi kupatan masyarakat Jawa.
Lontong Cap Go Me ketupatnya dibikin lonjong dan dipotong sehingga membentuk lingkaran lambang bulan purnama.
Tapi, ada syarat lain yang perlu dipenuhi supaya sahih. Sajian harus menyertakan bubuk kedelai, docang (parutan kelapa dan kedelai yang dikukus), dan abing (parutan kelapa yang dimaniskan).
Kedelai itu multifungsi, harapannya bisa bawa rezeki. Kelapa, kan, putih, melambangkan kesucian.
Kemudian di malam Cap Go Meh, warga Tionghoa juga menyajikan wedang ronde. Simbol kehangatan dan keutuhan cinta kasih persahabatan
Mengakhiri penjelasannya, Suhu Jeremy mengutip pepatah China :
保留和发扬传统,尊重祖先
Bǎoliú hé fāyáng chuántǒng, zūnzhòng zǔxiān
Artinya …”Melestarikan dan menjalankan tradisi berarti menghargai leluhur,”.***
BACA JUGA: 5 Rahasia Kenapa Orang China Banyak yang Kaya dan Sukses, Ini Catatan Tahun Baru Imlek