SUARA CIREBON – Itikaf selalu muncul di setiap bulan Ramadhan, ketika umat Islam menjalankan ibadah puasa (sahum) wajib.
Apakah arti atau definisi itikaf, dan bagaimana hukum itikaf serta kepan sebaiknya itikaf dilakukan disaat menjalankan ibadah puasa (sahum) Ramadhan.
Menurut definisi atau arti dari itikaf disaat puasa Ramadhan, secara gramatikal atau kebahasaan adalah al Habs (menahan diri), al Mukts (berdiam diri) dan al Mulazamah (menetapi atau menyepi).
Jadi, itikaf adalah menetapi atau menyepi dari sesuatu dan menahan diri padanya untuk kebaikan atau untuk menjauhi perkara dosa disaat menjalankan ibadah puasa (shaum) Ramadhan.
Secara syariat, definisi itikaf seperti pendapat para ulama, diantaranya :
- Al-Imam an-Nawawi berkata :
“Itikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat tertentu”.
- Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata :
“Itikaf adalah menetap di dalam masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu”
Hukum itikaf, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah sunnah (tidak wajib), kecuali bagi orang yang bernazar untuk melakukannya, hukumnya menjadi wajib.
Pendapat yang masyhur, bahwa itikaf disunnahkan pada setiap waktu dan lebih ditekankan di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Waktu awal dan berakhirnya Itikaf, di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Ini merujuk pada Hadits Rasulullah, bahwa Nabi memulai itikaf sejak terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan.
Sebab, sepuluh hari terakhir Ramadhan bermula dari terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan.
“Rasulullah sering beritikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan. Baginda lalu beritikaf pada suatu tahun. Ketika tiba malam ke-21 yang merupakan malam yang di pagi harinya (hari ke-20) baginda keluar dari itikaf. Baginda berkata ketika itu, ‘Barangsiapa beritikaf bersamaku, hendaklah ia beritikaf (kembali) pada sepuluh hari terakhir’” (Muttafaq ‘alaih)
Namun ada riwayat dari Aisyah, bahwa :
“Jika Rasulullah ingin melakukan itikaf, baginda menunaikan solat fajar (Subuh) lalu masuk ke tempat itikafnya.” (Muttafaq ‘alaih).***