SUARA CIREBON – Menjalankan ibadah puasa Ramadan menjadi kewajiban umat Islam. Lantas apakah jika bepergian tetapi tidak mau membatalkan puasa, apakah puasanya sah?
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Dr Arief Hidayat Afendi SHI MAg menjelaskan, terkait bepergitan tetapi tetap puasa ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama, jumhur ulama berpendapat puasanya sah. Dan kedua dari Ahlu Zhahir, berpendapat puasanya tidak terhitung puasa fardu, karena yang fardu adalah di hari lain.
Hal ini, kata Arief Hidayat, sebab ada perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman terhadap firman Allah SWT yang artinya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah [2]: 185).
Diterangkan Arief Hidayat, ayat tersebut bisa dipahami secara hakikat (zhahir) tanpa ada kata yang dibuang sama sekali.
Atau, lanjut Arief Hidayat, dipahami secara majaz yang maksudnya adalah orang sakit dan musafir jika berbuka, maka puasanya harus diqadha di hari-hari lain.
“Ulama yang mengartikan ayat tersebut secara hakikat, berpendapat bahwa seorang musafir wajib mengerjakan puasa di hari-hari lain, bukan pada hari ketika dia berpergian,” terang Arief Hidayat.
Dipaparkan Arief Hidayat, ulama yang mengartikan ayat tersebut secara majaz berpendapat bahwa seorang musafir wajib mengerjakan puasa di hari-hari lain apabila dia berbuka pada saat dia bepergian.
“Masing-masing mendasarkan pendapatnya pada hadits dalam menafsirkan ayat tersebut,” katanya.
Arief Hidayat menerangkan, jumhur ulama mendasarkan pendapatnya pada hadits Anas, yaitu, “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW pada bulan Ramadan, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.”
(Muttafaq ‘Alaihi. HR. Al Bukhari (1947), Muslim (1118), Abu Daud (2405), Ahmad 3 / 45, 74).
Sedangkan Madzhab Zhahiri mendasarkan pendapatnya pada hadits dari Ibnu Abbas, “Bahwa Rasulullah SAW bepergian ke Makkah pada tahun pembebasan kota itu di bulan Ramadhan, beliau sedang berpuasa, lalu setelah sampai di mata air (al kadi{ beliau berbuka, maka orang-orang pun ikut berbuka.”
(Shahih. HR. Musiim (1118).
Dengan demikian, Arief Hidayat menegaskan, orang yang bepergian atau safar dapat memilih untuk berpuasa atau berbuka. Begitu pula orang yang sakit yang berpuasa Ramadhan. Terlebih lagi, sambung Arief Hidayat, ada hadits Rasulullah SAW:
“Wahai Rasulullah, saya kuat tetap berpuasa pada waktu bepergian jauh, apakah saya berdosa?” Rasulullah SAW menjawab, “Itu kemurahan (dispensasi) dari Allah, orang yang memanfaatkannya maka itu baik dan orang yang lebih senang tetap berpuosa tidoklah berdosa.”
(Muftafaq ‘Alaihi. HR. Al Bukhari (1942, l943). Muslim (1121), Abu Daud (2402), At-Tirmidzi (711), An-Nasa’i (4/ 187), Ibnu Majah (1662), Ahmad (6/ 46, 163).***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.