SUARA CIREBON – Ahli Hukum Acara Pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, Solehuddin menilai dalam sidang PK (Peninjauan Kembali) enam terpidana kasus Vina Cirebon sebagai “off side”.
Jaksa disebut off side karena dalam sidang PK, keberadaan jaksa seharusnya bersikap pasif, tidak aktif seperti ditunjukan dalam sidang PK di Pengadilan Negeri atau PN Kota cirebon belakangan ini.
“Jaksa disini bukan sebagai penuntut umum. Tapi hanya pendamping mewakili institusi saja. Bersikap pasif, tidak aktif seperti selama ini,” tutur Solehuddin.
Solehuddin dihadirkan tim Peradi yang menjadi pengacara enam terpidana kasus Vina Cirebon pada lanjutan sidang PK enam terpidana kasus vina cirebon Senin 23 September 2024.
Sebagai saksi ahli, Solehudin yang merupakan Ketua Perhimpunan Dosen Hukum Pidana Indonesia itu dimintai keterangan selaku ahli Hukum Acara Pidana.
Dalam kesaksiannya, Solehuddin menjelaskan mengenai makna PK. Secara umum, ia menyebutkan bahwa PK merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak terpidana dan ahli warisnya.
“PK ini upaya hukum luar biasa yang menjadi hak terpidana atau ahli waris. Ini sebagai koreksi terhadap kemungkinan ada kekeliruan dalam pengambilan keputusan oleh hakim. PK ini bagian dari fasilitas hukum acara di Indonesia untuk menegakan keadilan, karena bagaimanapun, hakim itu bisa saja salah dalam memutus perkara,” tutur Solehuddin.
Dalam sidang PK, lanjut Solehuddin, sepenuhnya merupakan panggung dari terpidana. Dalam hal ini melalui pengacaranya untuk mengoreksi putusan hakim dengan menghadirkan bukti baru (novum) serta sejumlah alasan lain yang mengngkapkan bahwa keputusan hakim sebelumnya keliru.
“Meskipun telah dinyatakan inkracht, namun bisa ada fasilitas lain bernama PK. Karena itulah, PK disebut sebagai upaya hukum luar biasa. Jadi ini sepenuhnya penggungnya terpidana dan ahli arisnya,” tutur Solehuddin.
Dalam kesaksianya, Solehuddin juga mengungkapkan sejarah lahirnya PK di Indonesia yang diawali oleh kasus peradilan sesat terhadap Sengkon dan Karta, dua petani Bekasi di tahun 1974.
“PK lahir setelah ada kasus Sengkon Karta. Dua petani didakwa membunuh dan divoinis bersalah. Tapi kemudian ada pihak yang mengaku bahwa pelaku pembunuhan bukanlah Sengkon dan Karta, tetapi dirinya. Kasus ini kemudian melahirkan istilah yang sampai hari ini disebut PK,” tutur Solehuddin.
Dalam sidang PK, karena menjadi panggung atau hak terpidana an ahli warisnya, yang mengungkapkan novum seharusnya dari pihak terpidana (pemohon PK) di depan majelis hakim.
“Jaksa disini, tidak sebagai termohon. Ia hanya mewakili insitusi kejaksaan saja. Tidak ada memori PK dan kontra memori PK. Nantinya, jaksa hanya boleh berpendapat. Tapi tidak aktif ikut menanyakan saksi seperti selama ini,” tutur Solehuddin.
Solehuddin memaklumi bahwa sidang PK di masing-masing tempat berbeda satu sama lain. Ini karena belum ada panduan yang jelas mengenai bagaimana teknis beracara di sidang PK.
Di PN Kota Cirebon, majelis hakim memberlakukan jaksa sebagai termohon. Lalu diberi ruang untuk turut bertanya kepada saksi-saksi yang dihadirkan pengacara (mewakili terpidana selaku pemohon KP) di depan majelis hakim.
Dalam sidang kasus PK terpidana kasus Vina Cirebon, dari sejak Saka Tatal sampai enam terpidana sekarang, tidak hanya katif bertanya, jaksa bahkan seringkali memojokan saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dinilai naif dan konyol.
Bahkan pada sidang senin lalu, sempat terjadi insiden. Ada kegaduhan dimana salah seorang jaksa sampai menantang pengunjung sidang yang menyorakinya akibat pertanyaan naif dan konyol yang diajukan kepada saksi fakta di sidang PK enam terpidana kasus Vina Cirebon.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.