SUARA CIREBON – Data terbaru dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Cirebon menunjukkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan hingga November 2024 mengalami perubahan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Kepala DP3APPKB Kota Cirebon, Suwarso Budi Winarno menyampaikan, meskipun ada penurunan pada beberapa jenis kekerasan, kasus tertentu menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Pada tahun 2023, total 21 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat, dengan rincian kekerasan fisik sebanyak 9 kasus, kekerasan seksual 3 kasus, kekerasan verbal 5 kasus, dan penelantaran 4 kasus.
Namun, hingga November 2024, jumlah kasus turun menjadi 19, meski terdapat peningkatan signifikan pada kekerasan verbal di Kecamatan Lemahwungkuk, Kamis, 12 Desember 2024.
“Pada 2024, kekerasan verbal di Lemahwungkuk melonjak drastis menjadi lima kasus, dibandingkan tahun sebelumnya yang nihil. Ini menjadi perhatian serius kami karena pola ini bisa menunjukkan adanya perubahan dalam dinamika sosial masyarakat,” ujar Budi.
Kecamatan Harjamukti, yang tercatat jumlah kasus tertinggi pada 2023 dengan delapan kasus, menunjukkan sedikit penurunan menjadi enam kasus pada 2024.
“Kami melihat upaya sosialisasi di Harjamukti mulai membuahkan hasil, namun belum cukup signifikan untuk menghilangkan kekerasan sepenuhnya,” tambah Budi.
Kekerasan fisik yang sebelumnya mendominasi pada 2023 dengan sembilan kasus, turun menjadi delapan kasus pada 2024, terutama di Kesambi dan Harjamukti. Di sisi lain, Kecamatan Kejaksan mencatat lonjakan kasus penelantaran dari nol menjadi dua kasus pada 2024, menunjukkan perluasan masalah yang membutuhkan pendekatan lintas sektoral.
Terkait dengan total penurunan jumlah kasus, Budi menekankan, meskipun secara kuantitas menurun, kualitas permasalahan yang muncul justru semakin kompleks.
“Ini bukan hanya soal angka, tetapi juga dampak psikologis dan sosial yang dirasakan korban. Satu kasus saja bisa berdampak besar jika tidak ditangani dengan baik,” jelasnya.
Pemerintah Kota Cirebon melalui DP3APPKB telah melakukan beberapa langkah preventif, seperti peningkatan akses layanan pengaduan, pelatihan deteksi dini di tingkat RT/RW, dan sosialisasi intensif tentang kekerasan berbasis gender.
Namun, imbuh Budi, tantangan yang dihadapi tidak hanya datang dari sisi masyarakat tetapi juga perlu penguatan koordinasi dan kolaborasi antarlembaga, serta masukan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Pihaknya juga menegaskan, Kota Cirebon sudah punya dua peraturan daerah (perda) terkait perlindungan perempuan dan anak untuk meningkatkan layanan dan penanganan kasus yang sedang berproses, termasuk kehadiran UPT Perlindungan Anakdan Perempuan.
“Kami mendorong peningkatan kerja sama antara DP3APPKB, kepolisian, dan lembaga swadaya masyarakat untuk memastikan setiap kasus ditangani secara tuntas. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat,” tegas Budi.
Dengan data ini, DP3APPKB berharap masyarakat dapat lebih proaktif dalam melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di sekitarnya. Kekerasan terhadap perempuan adalah masalah serius yang perlu dihentikan.
“Tentunya kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkolaborasi bersama mengusahakan layanan yang terbaik bagi anak dan perempuan di Kota Cirebon,” ungkapnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi refleksi penting bagi Kota Cirebon untuk meningkatkan layanan perlindungan dan edukasi masyarakat. Pemerintah dan masyarakat harus terus bersinergi demi menurunkan angka kekerasan secara konsisten di tahun-tahun mendatang.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.