SUARA CIREBON – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ciebon menggelar rapat guna membahas sejumlah permasalahan terkait peristiwa longsornya galian C di Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Senin, 2 Juni 2025.
Dari sejumlah permasalahan, pembahasan terkait penetapan status tanggap darurat terkait longsornya galian C Gunung Kuda, berjalan cukup alot.
Sementara pembahasan poin lainnya dalam rapat yang digelar di ruang rapat bupati Setda Kabupaten Cirebon itu, seperti penanganan evakuasi jenazah, evakuasi barang hingga penanganan kesehatan akibat longsor tersebut, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan peserta rapat.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Cirebon, Hilmy Rivai mengatakan, meski poin pembahasan penetapan status tanggap darurat berjalan alot dan cukup debatable, namun semua sepakat, penanganan pascabencana tetap harus menjadi kewajiban Pemkab Cirebon, baik ada anggaran atau tidak ada anggaran, anggaran menggunakan biaya tak terduga (BTT) ataupun tidak.
Terkait penetapan status darurat, lanjut Hilmy, sebagian besar peserta rapat menyatakan hal tersebut tidak masuk ke dalam tanggap darurat. Pasalnya, peristiwa yang terjadi di Gunung Kuda merupakan kondisi alam.
“Tapi dari sisi kemanusiaan, karena yang meninggal banyak, maka setidaknya ada kajian analisis yang lebih mendalam lagi. Apakah ini bisa ada diskresi sehingga masuk ke (status, red) tanggap darurat,” ujar Hilmy.
Menurut Hilmy, penetapan tanggap darurat dilakukan setelah ada hasil asesmen (kajian/penilaian) dari bencana yang terjadi. Setelah melalui tahap asesmen, baru kemudian ditetapkan status tanggap darurat tersebut. Namun karena pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat menilai longsor ini sudah kejadian, sehingga direspons menjadi tanggap darurat.
“Tapi kita tidak ingin berdebat tentang tepat atau tidak tepat tanggap darurat oleh provinsi ini, yang jelas harus direspons semuanya,” tegas Hilmy.
Saat ini, imbuh dia, hal penting sedang dilakukan oleh Pemkab Cirebon adalah asesmen. Jika hasil asesmen menyatakan kejadian longsor Gunung Kuda tidak masuk dalam tanggap darurat, maka status akibat bencana tersebut bukan tanggap darurat. Sebaliknya, jika hasil asesmen menyatakan kondisi tersebut sebagai tanggap darurat, maka anggaran penanganan akan disiapkan dari Biaya Tak Terduga (BTT) Pemkab Cirebon.
Menurutnya, saat ini Pemkab Cirebon sudah menugaskan BPBD dan Kabag Hukum Setda, untuk berkonsultasi ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal itu agar niat baik untuk mengeluarkan anggaran yang dilakukan Pemkab Cirebon, tidak menyalahi regulasi yang ada.
“Kalaupun ternyata ini tidak masuk tanggap darurat bencana, tapi ada tanggap darurat evakuasi, karena ada korban yang banyak. Dan menurut regulasi Permendagri dan Permenkeu itu diperkenankan,” paparnya.
Namun apapun hasil dari konsultasi dengan BPKP nanti, Hilmy memastikan, Pemkab Cirebon berkomitmen bahwa penanganan pascabencana ini harus dilakukan hingga ke dampak sosial yang timbul.
Menurut Hilmy, para pekerja tambang dan pekerja lainnya yang tidak lagi bisa bekerja akibat insiden tersebut, harus disediakan peluang untuk bisa bekerja di pabrik-pabrik.
Termasuk anak-anak dari korban longsor yang meninggal dunia. Hal itu bisa dilakukan melalui koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah melalui Disnaker Kabupaten Cirebon.
“Kalau ada yang berminat di UMKM, kita siapkan pelatihan-pelatihan untuk menjadi pengusaha atau entrepreneurship, yang sekolah yang biasanya membutuhkan biaya, Disdik dan Bapelitbangda sepakat menganggarkan untuk dampak sosial tersebut,” paparnya.
Ia menyebut, penanganan yang dilakukan Pemkab Cirebon melalui BPBD, Dinkes, DPUTR dan dinas terkait lainnya, sejauh ini masih menggunakan anggaran operasional dari masing-masing dinas tersebut. Sehingga bisa dipastikan upaya tersebut masih belum memenuhi harapan masyarakat, baik korban maupun yang terdampak.
“Nanti kita tindaklanjuti dengan BTT evakuasi (anggarannya, red) ditingkatkan, nanti diganti di rubahan (APBD perubahan, red),” ucap Hilmy.
Berdasarkan data yang masuk, pekerja informal yang terdampak bencana tersebut jumlahnya sekitar 213 Kepala Keluarga (KK).
Namun, diakui Hilmy, Pemkab Cirebon belum memutuskan penanganannya akan seperti apa. Anggaran untuk permodalan atau pelatihan dan lainnya sedang dikomunikasikan dengan Pemprov Jabar.
“Jangan jadi beban kabupaten, karena ini kan perizinan yang keluarkan Pemprov Jabar. Jadi kita bersama-sama lah, syukur pemerintah pusat juga ikut terlibat,” pungkasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.