SUARA CIREBON – Sejumlah perusahaan yang hendak membuka industri skala besar di Kabupaten Cirebon, tersendat di meja perizinan lingkungan. Dokumen upaya pengelolaan lingkungan (UPL), yang menjadi syarat utama sebelum izin industri diterbitkan, dinilai kerap memakan waktu lama dan tidak mudah diselesaikan.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon, Hilmy Rivai, mengatakan, dokumen pengelolaan lingkungan menjadi salah satu hambatan terbesar bagi para investor yang akan menanamkan modal di Kabupaten Cirebon.
Menurut Hilmy, lamanya proses penerbitan penerbitan izin lingkungan ini membuat 11 investor terhambat dalam menanamkan modal di Kabupaten Cirebon.
Dari data yang dihimpun, nilai investasi yang mengantre di Kabupaten Cirebon mencapai lebih dari Rp1,7 triliun, dengan rencana serapan tenaga kerja lebih dari 10.000 orang.
Sejumlah investor yang akan mengamankan modalnya ini merupakan nama-nama besar seperti PT Chengda Tech Indonesia dengan nilai investasi Rp599 miliar dan rencana menyerap 2.869 tenaga kerja, hingga PT Dahju Foam Product dari Taiwan dengan investasi Rp216 miliar dan rencana menyerap 930 pekerja.
“Hambatan terbesar memang terjadi di ranah dokumen lingkungan. Hal itu terjadi bukan pada niat investor, melainkan pada pemenuhan standar teknis yang ditetapkan pemerintah pusat, yakni Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),” kata Hilmy, Senin, 25 Agustus 2025.
Menurut Hilmy, izin UPL ini sering kali dianggap sederhana, padahal justru izin tersebut menjadi penentu.
“Banyak pengajuan izin usaha tidak bisa diproses karena dokumen lingkungan yang diajukan tidak lengkap atau tidak sesuai dengan kondisi lapangan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, masalah tersebut muncul dari kualitas dokumen yang diajukan investor. Para investor banyak yang menyerahkan penyusunan dokumen UPL kepada konsultan. Sementara, tidak sedikit konsultan yang hanya menyajikan laporan salin tempel (copy paste) dari template umum tanpa menyesuaikan kondisi lapangan.
Akibatnya, penyajian laporan salin tempel tersebut menghasilkan dokumen berisi data asal-asalan, peta lokasi yang tidak sesuai, hingga rencana pengelolaan limbah yang tidak jelas. Sehingga ketika diverifikasi, hampir semua harus direvisi.
“Kalau hanya copy-paste dari template, pasti ditolak. Harus ada data aktual, peta lokasi yang sesuai, hingga rencana teknis pengelolaan limbah cair maupun padat. Selama itu belum dipenuhi, jangan harap izin bisa keluar,” kata Hilmy.
Proses revisi bolak-balik inilah yang membuat investor mengeluh. Karena bagi pengusaha, waktu adalah uang. Setiap keterlambatan berarti biaya operasional makin membengkak, sementara rencana produksi tertunda.
Sedangkan fakta lain yang sulit dihindari, yaitu birokrasi perizinan lingkungan memang lebih panjang dibanding izin lainnya. Karena KLH membutuhkan waktu ekstra untuk mengkaji setiap detail, dari mulai penggunaan air tanah, sistem pembuangan limbah, hingga dampak terhadap masyarakat sekitar.
Hilmy menegaskan, dalam hal ini, DPMPTSP Kabupaten Cirebon hanya memfasilitasi. Keputusan keluarnya izin tetap ada di KLH berdasarkan hasil penilaian.
“Jadi kalau mereka menilai belum layak, kami tidak bisa menerbitkan izin. Prinsipnya, jangan sampai industri berdiri dulu, baru masalah muncul belakangan,” terangnya.
Prosedur ketat adalah cara menjaga lingkungan dan menghindari bencana sosial di kemudian hari. Penegasan ini sekaligus menepis tudingan investor yang menilai Pemerintah Daerah (Pemda) lamban dan birokratis hingga kerap dianggap menghambat karena alurnya panjang.
Jika dihitung, potensi ekonomi yang menggantung di meja perizinan bukan main-main. PT Joil Global Indonesia, misalnya, membawa investasi Rp206 miliar dengan rencana menyerap 2.000 pekerja. PT Oleno Garment International menyiapkan Rp25 miliar dengan target 1.500 pekerja.
Belum lagi PT Gold Emperor Dua, perusahaan sepatu asal China dengan investasi Rp188 miliar untuk 1.200 tenaga kerja. Ada juga PT Paicos International Indonesia dengan nilai Rp149 miliar dan target 649 pekerja.
“Dari 11 perusahaan, jika seluruhnya beroperasi, Kabupaten Cirebon bisa menikmati multiplier effect luar biasa, ribuan lapangan kerja baru, peningkatan konsumsi lokal, serta pertumbuhan sektor pendukung seperti logistik, transportasi, dan perumahan,” ucapnya.
Namun semua itu tertahan karena dokumen lingkungan yang tak kunjung selesai. Hilmy pun menyadari keresahan para investor. Karena itu, DPMPTSP kini mendorong dua strategi.
Ia meminta investor menggunakan jasa konsultan lingkungan yang kredibel. Kemudian yang kedua, membuka ruang konsultasi intensif agar pelaku usaha memahami syarat teknis sebelum dokumen diajukan.
“Kalau pelaku usaha patuh dan menyiapkan dokumen dengan benar, sebenarnya proses tidak lama,” terangnya.
DPMPTSP, imbuh dia, membuka konsultasi untuk para investor agar memahami persyaratan sejak awal. Selain itu, DPMPTSP juga berkoordinasi dengan KLH untuk memangkas birokrasi yang tidak perlu.
“Harapannya, dokumen bisa segera dievaluasi tanpa mengorbankan kualitas verifikasi,” tegasnya.
Meski investor mendesak percepatan, namun pemerintah menegaskan satu hal: lingkungan tidak boleh dikorbankan demi investasi.
Kabupaten Cirebon memang membutuhkan masuknya modal asing, tetapi pembangunan yang merusak hanya akan meninggalkan masalah baru.
Pihaknya tidak ingin investor lari hanya karena persoalan teknis. Namun aturan tetap harus ditegakkan. Prinsipnya, investasi boleh masuk, tapi lingkungan tetap harus dijaga.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.















