“Wanita hamil atau menyusui jika keduanya khawatir (akan dirinya, bayinya atau kedua-duanya), keduanya diperbolehkan berbuka dan (diwajibkan) memberi makan (fakir miskin).”
(HR al-Baihaqi, al-Albani menyatakan sanadnya sahih sesuai dengan syarat alBukhari & Muslim)
Namun, pendapat ini terdapat kelemahan jika ditinjau dari segi makna.
Sebab, secara makna pendapat ini telah menyamakan keadaan wanita hamil atau menyusui yang suatu ketika akan kembali sehat dan kuat untuk melakukan qadha puasa, dengan keadaan orang yang tidak mampu lagi berpuasa selamanya karena lanjut usia sehingga berkewajiban menggantinya dengan pembayaran fidyah.
Penyamaan ini tidak benar, kerana perbedaan antara kedua keadaan tersebut sangatlah jelas.
3. Diwajibkan hanya melakukan qadha puasa.
Alasannya, wanita hamil dan menyusui keadaannya seperti orang sakit dan musafir yang terkadang merasa berat untuk berpuasa.
Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha’i, alHassan al-Bashri, Atha’ bin Abi Rabah dan al-Imam Abu Hanifah.