SUARA CIREBON – Beredar di grup WhatsApp (Grup WA) soal waktu menjalankan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah atau sehari sebelum Idul Adha yang tahun 2023 ini memasuki tahun 1444 Hijriah pada Kamis 29 Juni 2023.
Tulisan yang menjelaskan soal puasa di Hari Arafah menjelang Idul Adha, tanggal 9 Dzulhijah, menjelaskan bahwa ibadah sunnah itu berdasarkan pada rukyah di negeri masing-masing.
Puasa Arafah menjelang Idul Adha, tidak bergantung wuqufnya jemaah haji di padang Arafah di Arab Saudi.
Begini tulisan soal puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah 1444 H menjelang Idul Adha dikaitkan dengan rukyah dan wuquf jemaah haji di Padang Arafah :
…”Puasa Arafah. Tanggal 9 Dzulhijjah itu BERDASARKAN RUKYAH Hilal di Negeri Masing-Masing,
BUKAN TERGANTUNG Wuqufnya Jama’ah Haji Di Arafah, karena :
[1]. Puasa Arafah itu terkait dengan “waktu saja” dan tidak terkait dengan “tempat”. Buktinya Nabi tidak menjadikan wukuf di Arafah sebagai patokan ketika beliau dan para sahabatnya puasa Arafah pada tahun ke 2 H, 3 H dst. Tetapi beliau dan para sahabatnya hanya menentukan puasa Arafah dengan ru’yah hilal penduduk Madinah.
Puasa Arafah tanggal 9 dzulhijjah itu telah disyari’atkan jauh sebelum Rasulullah melaksanakan ibadah haji. Puasa Arafah tanggal 9 dzulhijjah sudah disyari’atkan sejak awal beliau berhijrah ke Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menamakan puasa 9 dzulhijjah dengan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan ibadah haji, dan ibadah haji baru beliau kerjakan di tahun ke 10 H.
Pada tahun ke 2 H, ke 3 H, ke 4 H dan ke 5 H Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah melaksanakan puasa di tanggal 9 dzulhijjah tanpa ada seorang pun yang melaksanakan wukuf di Arafah. Saat disyari’atkan, puasa Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah (lihat Zaadul Ma’aad II/101 oleh Imam Ibnu Qayyim, Fathul Baari III/442 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan Subulus Salam I/60 oleh Imam ash-Shon’ani).
Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah, hari ‘Asyuraa’ dan 3 hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan 2 hari kamis” (HR. Abu Dawud no.2437, Ahmad no.2269, an-Nasaa’i no.2372 dan al-Baihaqi IV/284, lihat Shahiih Sunan Abi Dawud no.2106)
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa beliau berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah (untuk puasa Arafah) dan itu dilakukan sebelum beliau haji wada’ tahun 10 H. Dan lafazh itu menunjukkan rutinitas sebuah amalan.
[2]. Puasa Arafah itu terkait dengan “waktu saja” dan tidak terkait dengan “tempat”. Buktinya tidak ada satu pun riwayat bahwasanya beliau ketika di Madinah bersungguh-sungguh untuk mencari tahu kapan waktu wuquf jama’ah haji di Arafah.
Jadi, Nabi berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wuquf di Arafah.
Jika di Madinah sudah masuk tanggal 9 dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau bersama para sahabat berpuasa Arafah dan tidak memakai ru’yah hilal penduduk Mekkah.
[3]. Puasa Arafah itu terkait dengan “waktu saja” dan tidak terkait dengan “tempat”. Buktinya Nabi bersabda kepada kaum muslimin untuk menentukan hilal (awal bulan) dzulhijjah dengan ru’yah sebagaimana kita juga melakukan ru’yah ketika akan menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila kamu telah melihat hilal (yaitu awal bulan) dzulhijjah dan salah seorang diantara kamu hendak berkurban, maka jangan sekali-kali kamu memotong rambutnya dan jangan pula memotong kukunya sampai hewan kurban itu disembelih” (HR.Muslim no.1977 (41 & 42), hadits dari Ummu Salamah).
Nampak dengan jelas pada hadits ini bahwa ‘Idul Adha dikaitkan dengan terbitnya hilal, sedangkan waktu terbitnya hilal di setiap negeri berbeda dengan negeri lainnya (sebagaimana yang kita pahami ketika menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal).
Dengan demikian, ‘Idul Adha dikaitkan dengan waktu (awal hilal) dan bukan dengan aktifitas jamaah haji di Arafah.
Dengan demikian, maka puasa Arafah juga dikaitkan dengan waktu (awal hilal) dan bukan dengan aktifitas jamaah Haji di Arafah.
(4). Bacalah hadits dari Kuraib, bahwa Ummu Fadhl binti al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jum’at. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku : “Kapan kalian melihat hilal ?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab : “Kami melihatnya “MALAM JUM’AT”. “Engkau melihatnya sendiri ?” tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa”, jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan : “Kalau kami (di Madinah) melihatnya “MALAM SABTU”. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawwal”
Kuraib bertanya lagi : “Mengapa kalian tidak mengikuti ru’yah Muawiyah dan puasanya Muawiyah ?”
Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, seperti inilah yang telah diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami” (HR.Muslim no. 1087)
Pada hadits ini kita lihat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tidak memakai ru’yah penduduk Syam, tapi ia tetap menggunakan ru’yah penduduk Madinah karena ia tahu bahwa hilal masing-masing negeri itu bisa berbeda-beda. Bahkan ia berkata bahwa beginilah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kami.
Meskipun kisah diatas berkaitan dengan awal Ramadhan, tetapi untuk menentukan hilal (awal bulan) dzulhijjah sama dengan bulan lainnya, tidak ada dalil yang membedakannya. Para ulama tidak membedakan untuk hilal dzulhijjah dan hilal bulan lainnya.
Maka puasa Arafah dan idul adha pun juga dikaitkan dengan waktu (awal hilal) di negeri masing-masing dan bukannya dengan aktifitas jamaah Haji di Arafah.
(5). Puasa Arafah itu terkait dengan “waktu saja” dan tidak terkait dengan “tempat”. Buktinya jika seandainya terjadi bencana atau peperangan sehingga jamaah haji tidak bisa wukuf di Arafah pada tahun itu, bukankah puasa Arafah tetap bisa dilakukan meskipun jamaah haji tidak ada yang wukuf di Arafah ? Kenapa ? Karena patokan puasa Arafah itu bukan wukufnya jamaah haji tapi tanggal 9 dzulhijjah.
Ke 5 alasan diatas dan alasan lainnya adalah pendapat dari seluruh ulama dari zaman ke zaman selama ratusan tahun.
Tetapi setelah adanya teknologi informasi beberapa tahun belakangan maka mulailah muncul pendapat yang berkata kita harus mengikuti puasa Arafah dengan berpatokan kepada jama’ah haji yang sedang wukuf di Arafah.
Para ulama berkata bahwa pendapat ini tidak kuat karena menyelisihi alasan-alasan diatas, sehingga mereka tetap dengan pendapat semula meskipun sudah ketahuan kapan wukuf di Arafah.
“Andaikan ru’yah di suatu negeri terlambat dari Makkah, sehingga tanggal 9 di Makkah adalah tanggal 8 di negeri mereka, maka hendaklah mereka berpuasa pada tanggal 9 di negeri mereka yang bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah, inilah pendapat yang kuat” (Al-Fatawa XX/29)
Dan ini juga pendapat dari al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmuu’ Syarah al-Muhadzzab VI/273, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Fihqiyah al-Kubro II/60.
Mudah mudahan bermanfaat…”
Demikian pendapat soal puasa Hari Arafah atau satu hari menjelang Idul Adha 1444 H yang disebar luas melalui erbagai Grup WA pada, Rabu, 28 Juni 2023, atau satu hari menjelang Idul Adha pada kamis 29 juni 2023.***