SUARA CIREBON – Mungkin sebagian wanita memiliki pertanyaan terkait apakah boleh menyatukan qada puasa Ramadan karena haid dan hamil.
Ada berbagai situasi bagi seorang wanita yang membuatnya berhalangan untuk menunaikan ibadah puasa Ramadan.
Contohnya, seorang isteri yang Ramadan sebelumnya mempunyai utang puasa 5 hari karena haid. Lalu sekarang hamil.
Lalu, apakah 5 hari puasa Ramadan yang belum dilaksanakan tersebut boleh dibayar dengan fidyah karena hamil?
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Dr Arief Hidayat Afendi MAg menjelaskan, halangan yang menjadikan seseorang tidak boleh atau tidak dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadan dimungkinkan karena berbagai sebab.
“Di kalangan wanita antara lain disebabkan karena menstruasi dan dapat juga disebabkan karena kehamilan,” jelasnya.
Pasalnya, kata Arief Hidayat, wanita yang sedang haid atau menstruasi tidak boleh atau dilarang melaksanakan ibadah puasa.
Wanita pun baru dibenarkan menjalankan ibadah puasa setelah bersih dari menstruasinya. Kemudian yang bersangkutan diwajibkan mengganti atau meng-qada puasa seusai bulan Ramadan di saat dalam keadaan suci.
Dalam hadis dijelaskan yang artinya, “Adalah kami mengalami demikian (haid), kami diperintahkan mengqadla puasa dan tidak diperintah mengqada shalat.” [HR. Muslim dari ‘Aisyah ra].
Untuk itu, Arief Hidayat menjelaskan, bagi wanita hamil yang karena lemah kondisi fisiknya, sehingga menjadi sangat berat untuk menjalankan puasa, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan.
Orang yang karena kondisi tertentu, sehingga menjadikan tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadan, diwajibkan membayar fidyah.
Dalam Al Quran disebutkan yang artinya, “… Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…” [QS. alBaqarah (2): 184].
Dalam hadis disebutkan yang artinya, “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik al-Ka‟bi diterangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa bagi orang hamil dan menyusui.” [HR. al-Khamsah].
Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas yang artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas (ketika menjelaskan) “Wa ‘Ala Ladzina Yutiqunahu… [Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)], berkata: Yang demikian itu merupakan keringanan bagi orang laki-laki dan perempuan yang sudah sangat tua. Mereka adalah orang yang sangat berat berpuasa, oleh karenanya kepada mereka boleh tidak berpuasa, sebagai gantinya memberi makan apa yang biasa dimakan kepada orang miskin per harinya. Hal ini berlaku pula bagi wanita hamil dan menyusui, jika keduanya merasa takut.” [HR. Abu Dawud].
Dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas yang artinya, “Kamu (perempuan hamil atau menyusui) termasuk orang yang sangat berat berpuasa, maka kepadamu wajib membayar fidyah dan tidak diwajibkan mengqadla‟.” [HR. al-Bazzar dan dishahihkan oleh ad-Daruquthni].
Dengan penjelasan di atas, Arief Hidayat menegaskan, dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pengganti berpuasa bagi wanita haid atau menstruasi dengan wanita hamil tidak sama, sehingga tidak dapat disatukan.
“Yakni pengganti tidak berpuasa karena hamil dilakukan dengan membayar fidyah, sedangkan pengganti tidak berpuasa karena haid atau menstruasi tetap harus meng-qada puasa yang ditinggalkan. Wallahu A’lam Bishawab,” tegasnya.***
Simak update berita dan artikel lainnya dari kami di Google News Suara Cirebon dan bergabung di Grup Telegram dengan cara klik link Suara Cirebon Update, kemudian join.